Minggu, 10 Juni 2012


Pohon Berduri Kini Menjadi Tumpuan Hidupnya


Di usia setengah baya, badan yang mulai tak tegap, rambut pun mulai memutih. Tak pernah terusik fisik yang mulai merapuh. Tetap berpegang teguh penuh semangat dan tanggung jawab sebagai pemimpin keluarga. Dialah sosok seorag ayah sejati yang menjadi teladan bagi keluarganya. Selama 46 tahun sudah Amad Edi Irawan yang akrab dipanggil Besar mengarungi kehidupannya di sebuah kampung kecil yang terletak di Kota Wonosobo. 

Sedari kecil beliau sudah merasakan pahir manisnya kehidupan. Pendidikan yang dienyam pun tidaklah tinggi, hanya sampai pada jenjang SMP. Biaya sekolah pada masa itu tidaklah sedikit bagi keluarga yang tingkat ekonominya hanya cukup untuk makan sehari-hari. Beliau dengan besar hati mau bekerja untuk mendapatkan uang lebih untuk biaya pendidikannya. Di samping tugasnya sebagai pelajar, beliau juga bekerja mencari rumput untuk seekor kambing milik tetangga. Meskipun upah yang diperoleh sedikit, namun Pak Besar selalu mensyukuri apa yang sudah diperolehnya.
Hasil nilai kelulusan yang sangat memuaskan membuat beliau merasa senang dan berharap dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Terbentur dengan perekoniman yang tidak mencukupi, menjadi hambatan beliau untuk meneruskan keinginannya. Hal ini tidak melunturkan semangatnya untuk terus berusaha menggapai cita dan harapan untuk hidup yang lebih layak.
Cita-cita yang tinggi dengan semangat yang kokoh, beliau tidak menyerah begitu saja. Pekerjaan yang beliau dapatkan setelah lulus sekolah dapat dikatakan tidak layak dikerjakan oleh anak seusia beliau. Beliau bekerja sebagai buruh tani tanpa pengalaman dan wawasan bertani.   
Berjalannya waktu, dan bertambahnya usia, serta pergaulan,  menjadikan dorongan bagi beliau untuk menggapai kehidupan yang lebih maju. Pendapatan tambahan beliau dapatkan dari seni karawitan yang diikutinya. Melalui kegiatan seni tersebut, beliau menemukan pendamping hidup. Beliau berani mengarungi kehidupan berumah tangga bersama seorang janda yang berprofesi sebagai sinden pada paguyuban seni yang diikutinya.
Setelah beliau menjadi kepala keluarga, dengan pekerjaan dan penghasilan seperti itu, tentulah tidak dapat cukup untuk menghidupi keluarganya. Mulai saat itu beliau berfikir untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang lebih layak. Dengan modal pengalaman sebagai buruh tani yang pernah dijalaninya, beliau memberanikan diri untuk menyewa sebuah lahan untuk ditanami tanaman jahe dengan sistem bagi hasil. Beliau berani mengambil resiko apabila usaha yang dikiati tidak berhasil.
Rencana berjalan mulus, bertani jahe yang beliau jalani membuahkan hasil. Sedikit demi sedikit beliau mengumpulkan biaya, agar dapat mempunyai lahan sendiri. Selain bertani, beliau juga bekerja menjadi pedagang kebutuhan rumah tangga keliling. Semua ini dilakoninya semata-mata ingin mempunyai lahan sendiri yang rencananya akan di garap dengan serius.
 
Rencana demi rencana telah tercapai, beliau dapat membeli lahan sendiri dan meneruskan bertani jahe. Ketika waktu panen tiba, namun untuk mencari pengepul jahe sangatlah sulit dan kala itu harga jahe menurun. Mengahadapi permasalahan tersebut muncullah sebuah ide. Sebagian jahenya dibuat menjadi serbuk untuk minuman.
Setelah panen jahe selesai, beliau memanfaatkan lahan yang beliau punya untuk bereksperimen. Beliau menanam kacang tanah, jagung, ubi rambat, singkong. Semua tanaman yang beliau tanam masih belum membuahkan hasil. Kebutuhan hidup yang semakin banyak dengan kehadiran buah hati di dalam keluarga kecilnya membuat Pak Besar harus lebih keras membanting tulang untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Melihat kondisi tersebut, salah satu temannya mengajak untuk bergabung dalam sebuah bisnis yang katanya dengan hasil menjanjikan. Tanpa berfikir panjang beliau pun masuk dalam bisnis penjualan produk kesehatan, namun setelah berjalan beberapa bulan perekonomian tidak kunjung membaik. Dilain sisi lahan yang beliau punya mulai tidak terawat. Beliau baru menyadari bahwa dunia pertanian lebih dikuasainya dari pada dunia bisnis. Hal ini membuat beliau memutuskan untuk berhenti dari bisnis yang dijalaninya dan kembali merawat lahannya yang sudah terbengkalai.

Pak Besar dengan besar hati memulai kembali dari awal pengolahan lahannya dengan menanami buah salak dan pohon Albasia. Ilmu bertanam salak dan bibitnya beliau dapat dari saudaranya yang tinggal di Yogyakarta. Sedikit demi sedikit dengan ketelatenannya, membuahkan hasil yang lebih menguntungkan dari usaha-usahanya yang dulu pernah beliau jalani.
Kondisi alam yang subur dan ketelatenannya dalam mengolah lahan, membuat hasil panennya memiliki mutu yang bagus dan masa panennya yang berkesinambungan. Dari hasil panennya beliau dapat memperluas lahan dan mencukupi keluarganya. Usaha beliau dalam bercocok tanam salak masih dijalaninya sampai sekarang, bahkan metode-metode yang beliau gunakan sering dijadikan contoh bagi para petani salak yang baru.