Identitas buku
No : 1
Judul : Para priyayi
Pengarang : Umar Kayam
Penerbit : Grafiti
Tahun terbit : 1996
Sinopsis :
Wage tinggal di Desa Wandawas sejak dalam kandungan ia telah menjadi anak yatim. Kehidupan Desa Wandawas yang diliputi kemiskinan sehingga membentuk Wage yang berkeperibadian yang lugu dan penurut, ketika berusia enam tahun ibunya menyerahkan Wage kekeluarga Sastrodarsono yang tinggal di jalan Setenon di kota Wonogalih keluaga Sastrodarsono adalah keluarga priyayi. Sastrodarsono merupakan seorang guru. Semenjak tinggal di sana Wage pun mengalami kenaikan status yaitu sebagai keluarga priyayi. walaupun Wage hanyalah anak titipan, namun Sastrodarsono selalu memperlakukannya dengan sangat baik. Oleh Sastrodarsono nama Wage diganti menjadi Lantip karena nama tersebut dipandang lebih bermakna dan lebih pantas untuk hidup di lingkungan priyayi.
Banyak peristiwa suka dan duka pun yang dirasakan oleh Lantip di keluarga Sastrodarsono. Dimulai dari kenyatan pahit disaat meninggal ibunya, Ia pun mengetahui bahwa ayahnya mempunyai hubungan dengan keluarga Sastrodarsono. Namun ayahnya bukanlah seorang priyayi, mengingat di saat ayahnya meninggal dengan membawa nama buruk yang merupakan gembong perampok. Namun dengan adanya keluarga Sastrodarsono Lantip mulai merasakan suatu kebahagiaan.
Lantip sangat bahagia tinggal dikeluarga Sastrodarsono, dimana keluarga tersebut dikenal dengan keluarga yang saling menghormati. Sastrodarsono memiliki tiga orang anak. Anak pertama dari Sastrodarsono adalah Nugroho, Nugroho dikenal dengan anak yang sangat patuh kepada orang tuanya dan dia pun telah menyelesaikan sekolah dan menjadi seorang guru. Nugroho mempunyai dua orang anak, kemelut yang terjadi pada masa kekuasaan Jepang merubah garis hidup Nugroho yang Ia jalani, Nugroho diangkat menjadi opsir tentara Republik yang ikut andil secara langsung pada setiap peperangan. Pada masa itulah Nugroho menerima nasib yang tragis karena kematian anaknya yang pertama, anak kedua Sastrodarsono adalah Hardjo, Ia seperti halnya Nugroho dia telah berhasil menyelesaikan sekolah dan menjadi seorang guru dan dia tinggal di desa Wonogiri. Hardjo menikah dengan Sumarti anak muridnya sendiri dan Ia dikarunia satu orang anak yang bernama Harimurti. Anak ketiga Sastrodarsono adalah Sumini seperti halnya dengan yang lain, dia dapat menyelesaikan sekolahnya dan menjadi seorang guru. Sastrodarsono merawat dan memelihara anak-anaknya dan sebagai seorang priyayi ia juga merawat anak-anak saudaranya.
Lantip terkadang merasa terasingkan karena derajatnya yang dulunya bukan dari keluarga priyayi sehingga sering kali Ia diremehkan oleh anak-anaknya Sastrodarsono. Seiring berjalannya waktu Nugroho yang sering memberikan kesan negatif ke Lantip dibuat terkesima karena Lantip dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan di keluarganya.
Analisis Makna
Di dalam Novel para Priyayi ini saya mencoba menganalisis dengan menggunakan pendekatan Psikologi Sastra dan Pendekatan Strata Social and Culture.
Dari cerita diatas menggambarkan sejumlah keragaman beban psikis yang dialami seorang Wage yang merupakan salah satu tokoh utama dalam novel ini. Di dalam novel ini menceritakan perjuangan Wage dalam menjawab tantangan kehidupan tanpa mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Pada saat dia masih di dalam kandungan dia telah ditinggal oleh ayahnya karena diduga ayahnya adalah seorang perampok. Tidak sampai disitu bahkan Wage pada usia enam tahun dia dititipkan kepada seorang priyayi yang menjadikannya berpisah dengan Ibunya. Walaupun secara sosial Wage mengalami suatu proses naiknya derajat karena telah diasuh oleh keluarga priyayi dan seketika itu nama Wage diganti dengan nama Lantip, akan tetapi secara emosional Lantip masih menyimpan suatu beban batin atas kurangnya mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang seharusnya tercurah dari orang tuanya yang menjadikan Lantip terbentuk menjadi seseorang yang berkeperibadian pendiam dan lugu.
Ketika melihat dari Pendekatan Strata Social and Culture di dalam novel ini kita dapat melihat adanya suatu kesenjangan sosial yang dialami pada masa itu, dari kesenjangan antara keluarga priyayi dengan keluarga yang bukan priyayi atau rakyat biasa, sehingga dalam cerita ini menggambarkan jelas kedudukan sosial didalam kebudayaan tersebut. Adapun dapat kita lihat pada cerita tersebut kedudukan priyayi jauh di atas tingkatannya dan secara tidak langsung dapat memberikan suatu deskrimanasi dan memberikan suatu batasan-batasan pada hak dan martabat manusia selaku mahluk sosial.
Identitas buku
No : 2
Judul : Kemarau
Pengarang : A.A. NAVIS
Penerbit : PT.Gramedia Widiasarana
Tahun terbit : 1992
Sinopsis :
Musim kemarau yang panjang memberikan efek yang sangat buruk bagi para petani, ketika musim kemarau tiba kebanyakan dari para petani pasrah dan berputus asa menunggu musim hujan dengan membiarkan sawah mereka kekeringan. Yang mereka lakukan hanyalah bermalas-malasan berpangku tangan sambil bermain kartu menunggu musim hujan tiba. Beberapa cara yang dilakukan untuk mengupayakan turunnya hujan akan tetapi hujan tak kunjung turun, dari melakukan doa-doa sampai berteriak meminta hujan seperti pada waktu Nabi Muhammad meminta hujan akan tetapi semuanya hanya sia-sia belaka.
Dia adalah Sutan Duono, walaupun dalam keadaan kemarau panjang ini, ia tetap mengairi sawahnya dengan mengangkat air dari danau yang ada disekitar desa mereka sehingga padinya tetap tumbuh subur. Ia tidak menghiraukan panas matahari yang membakar tubuhnya ia berharap agar para petani di desanya mengikuti perbuatan yang ia lakukan. Ia juga berusaha memberikan ceramah kepada ibu-ibu yang ikut dalam pengajaran di Surau desa mereka. Namun tak satupun para petani yang menghiraukan ceramahnya apalagi mengikuti langkah-langkah yang dilakukannya.
Tampaknya, keputusasaan penduduk desa telah sampai pada puncaknya. suatu hari ada seorang bocah kecil bernama Acin yang membantunya mengairi sawah sehingga keduanya saling bergantian mengambil air di danau dan mengairi sawah mereka. Penduduk desa yang melihat kerja sama antara keduanya bukannya mencontoh apa yang mereka lakukan. Melainkan mempergunjingkan dan menyebar fitnah, bahwa Sutan Duano mencoba mencari perhatian Gundam. Ibu si bocah itu, yang memang telah menjadi janda bahkan seorang janda yang menaruh hati pada Sutan Duano pun kemudian mempercayai gunjingan itu.
Cemooh itu semakin memanaskan telinga Sutan Duano, tetapi ia tidak menanggapinya dan tetap bersikap tenang. Suatu hari ia menerima telegram dari Masri, anaknya yang sudah dua puluh tahun disia-siakannya. Ia memintanya untuk pergi ke Surabaya. Dalam hatinya ia ingin bertemu dengan anak semata wayangmya itu, namun ia tidak mau meninggalkan si bocah kecil yang masih memerlukan bimbingannya. Setelah mempertimbangkan masak-masak, ia pun memutuskan pergi ke Surabaya. Sementara itu, para penduduk desa merasa kehilangan atas kepergiannya. Apalagi setelah mereka membuktikan bahwa semua saran yang diberikan olehnya memberikan hasil. Mereka menyesal telah salah sangka terhadapnya.
Hari yang dinanti-nantikan pun tiba, Sutan Duano pun berangkat ke Surabaya namun sesampainya disana, hatinya menjadi hancur ketika bertemu dengan mertua anaknya, ternyata mertua anaknya adalah Iyah mantan istrinya. Ia marah kepada Iyah karena telah menikahkan dua orang yang bersaudara.
Kemarahan Sutan Duano tidak tertahan-tahan lagi dan mengancam ingin memberitahukan semua itu Arni melihat gelagat seperti itu Iyah pun memukul kepala Sutan Duano hingga kepala Sutan Duano mengeluarkan darah, Sutan Duano pun ditolong oleh Arni dan diamankan sehingga dapat terhindar dari amukan Iyah. Tak lama kemudian Iyah pun meninggal dunia dan Sutan Duano kembali kedesanya menikah dengan Gundam.
Analisis Makna
Novel Kemarau dilihat dari makna Culture Sastra dan Psikologi Sastra. Pendekatan Culture Sastra adalah dapat digambarkan bahwa novel ini kental dengan adat Istiadat Suku Minagkabau, hal ini dapat dilihat dari gambaran Setting tempat dan Kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan masyarakat Suku Minangkabau. Adapun karakter yang dapat dilihat dalam Novel tersebut adalah sifat yang bermalas-malasan yang cenderung lebih pasrah dalam menghadapi takdir. Ketika melihat dari cerminaan tokoh Sutan Duano dalam Novel ini adalah ingin memberikan suatu perubahan bagi masyarakat suku Minangkabau sendiri untuk lebih mengenal artinya hidup. Dan Sutan Duano Ingin merubah pola pikir mereka dan mendidik keperibadian yang mandiri tanpa mengenal putusasaan. Akan tetapi kebaikan Sutan Duano sulit diterima baik oleh masyarakat tersebut dan Sutan Duano juga difitnah penduduk desa. Dia dituduh sengaja mencari perhatian Gundam ibu Acin. Sutan Duano tetap tenang menghadapi isu tersebut. Setelah pulang dari Surabaya menengok anaknya, Sutan Duano akhirnya menikah juga dengan Gundam.
Sikap Sutan Duano ini patut untuk ditiru. Dia pantang menyerah dan terus berusaha hingga usahanya itu membuahkan hasil. Setiap orang dalam menghadapi masalah harus selalu bersemangat dan berusaha. Selain berusaha juga harus diiringi dengan doa karena Allah yang akan menentukan hasil dari usaha kita itu.
Identitas buku
No : 3
Judul : KHUTBAH DI ATAS BUKIT
Pengarang : Kuntowijoyo
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 1997
Sinopsis :
Barman seorang pensiunan Pegawai Negeri, Dia adalah seorang pensiunan diplomat yang ditinggal mati istrinya sejak anaknya Bobi masih kecil. akan tetapi ambisi secara rohani tidak menyurutkan kenyataannya dan keadaannya ketika anaknya Bobi menganjurkannya untuk mengisi hari tuanya di sebuah Villa pegunungan. Pada mulanya Dosi menantunya kurang setuju dengan gagasan itu, adapun pikiran-pikiran yang salah satu penyebabnya karena mertuanya sudah mulai lanjut usia. Akan tetapi semua itu tidak dipermasalahkan oleh Barman sebab udara pegunungan yang sejuk akan membuat Barman lebih tenang dan tanpa gangguan dari cucu-cucunya. Apalagi anaknya sudah menyanggupi akan menyediakan seorang perempuan muda yang selalu siap melayani Barman setiap saat. Perempuan muda itu bernama Popi, ia bersedia menjadi istri Barman dan mau hidup jauh dari keramaian bersama suaminya yang sudah tua. Sejak ditinggal istri pertamanya Barman memang merasa kesepian. Lalu kini saat menghabiskan sisa hidupnya, ada sebuah boneka hidup cantik dan menyenangkan.
Kebahagiaan yang dialami oleh kedua pasangan itu tidak dapat dibendung selain Popi yang rela merawat dan mencintai Barman apa adanya walaupun sebenarnya Braman usianya sudah hampir habis dimakan waktu akan tetapi semua itu dilewati dengan penuh canda tawa serta kebahagian, dan walaupun Barman telah mengetahui bahwa Popi adalah seorang Kupu-kupu Malam.
Suatu hari, ketika Barman berjalan-jalan di seputar pegunungan itu, ia bertemu dengan seorang lelaki yang sama tuanya. Lelaki yang mengaku sebagai penjaga bukit itu juga bermaksud hidup dalam kesepian dan meninggalkan sebagai orang yang sudah tak mau peduli dengan kehidupan duniawi. Ia tak mau terikat oleh berbagai keinginan, termasuk juga hasratnya pada perempuan. Dengan demikian, Humam jadi tampak begitu merdeka, bebas berfikir, dan bebas dari keinginan-keinginan. Suatu karakter yang amat bertolak belakang dengan Barman yang masih terbelenggu berbagai kebutuhan fisik dan psikis. Saudara kembar yang masing-masing mempunyai tujuan dan pandangan hidup yang sangat berbeda.
Perjumpaannya dengan Humam lelaki yang dianggapnya aneh itu, membuat Barman mulai mempertanyakan keberadaan dirinya. Makin terkejut lagi, saat ia melihat sahabat barunya itu meninggal. Humam meninggal dalam keadaan damai meskipun ia hidup sendiri dan sepi. Pemandangan tersebut ternyata telah meniggalkan kesan yang dalam bagi Barman. Lebih dari itu muncul pula pemikiran baru dalam dirinya. Mendadak ia merasa begitu bergantung kepada istri mudanya. Dan ia ingin lepas ingin bebas. Ia memang sangat mencintai Popi. Namun, pengalaman barunya dengan Humam, juga tak dapat dilupakannya. Ia ingin melepaskan bebas dari milik kita, maka kita telah membebaskan diri. Inilah kesadaran baru yang mulai diresapi oleh Barman.
Popi bukan tak merasakan perubahan itu. Ia cemas bagaimanapun, perubahan sikap Barman sedikit banyak akan berakibat juga pada kehidupan Popi selanjutnya. Ia mulai merasakan kebahagiaan tersendiri hidup dengan Barman. Ia takut perubahan pada diri suaminya akan berakibat buruk dan merusak kebahagiaannya. Oleh karena itu, untuk menyenangkan suaminya, Popi membiarkan Barman melakukan dan berbuat apa saja sesuai denagn keinginannya, termasuk keinginan lelaki tua itu untuk mengikuti apa yang telah dilakukan Humam.
Barman kini hidup dengan segala kebebasannya. Dengan cara memerdekakan dirinya dari belenggu keinginan-keinginan yang bersifat materi, lelaki tua itu merasakan kedamaian. Ia merasa bahagia. Timbul keinginannya agar orang lain pun mengikuti jejaknya menemukan kebahagiaan sebagaimana yang ia rasakan. Barman lalu mewartakannya kepada setiap orang. Maka, para penduduk di sekitar pegunungan itu pun berdatanagn meminta petunjuknya. Belakangan, makin banyak orang datang kepadanya, Barman justru dihinggapi kebingunan. Ia tak tahu berita apa yang harus disampaikan kepada mereka. Dalam kebingunan itu, akhirnya ia berteriak dengan suara yang amat menyayat hati.
Seketika itu orang-orang mencari keberadaan Barman, tapi apa boleh dikata Barman pun ditemukan dalam keadaan yang sudah tidak bernyawa. Orang-orang pun hendak membawanya ke Villa dan mengabarkan berita kematian Barman ke Popi akan tetapi Popi pun sudah tidak diketahui keberadaanya apalagi ketika terakhir Popi menghilang bersama dengan supir truk.
Analisis makna
Dalam novel Khutbah di Atas Bukit terdapat beberapa fenomena kejiwaan yang nampak dalam perilaku tokoh-tokohnya. Novel ini mengisahkan kehidupan seorang tokoh yang bernama Barman. Dia adalah seorang pensiunan diplomat yang ditinggal mati istrinya sejak anaknya Bobi masih kecil. Bobi menyuruh ayahnya itu menghabiskan masa tuanya di sebuah bukit. Di sana Barman ditemani perempuan cantik bernama Popi. Di bukit itu Barman menghabiskan waktunya dengan Popi yang selalu membuat dia bahagia.
Pada suatu saat Barman berkenalan dengan Humam. Humam mengajarkan banyak hal pada Barman. Ketika Humam meninggal, Barman mendapat warisan rumah Humam. Barman sering menghabiskan waktunya di rumah itu. Barman ingin hidup seperti Humam yang tenang, damai, dan bahagia. Tak lama Barman mempunyai banyak pengikut yang menginginkan kehidupan bahagia.
Barman mengajak para pengikutnya ke atas bukit. Di sana dia berbicara pada para pengikutnya bahwa “hidup ini tak berharga untuk dilanjutkan”. Setelah itu Barman meninggal dan kematian itu mereka anggap sebagai pembebasan yang sempurna.
Novel ini juga membahas masalah wanita. Hal ini dibuktikan dengan tokoh wanitanya yang bernama Popi. Popi dulu adalah seorang tunasusila yang kemudian dia mengabdikan hidupnya pada Barman. Tapi setelah kematian Barman, Popi kembali pada kehidupannya dulu.
Selain Barman dan Popi masih ada lagi tokoh yang bernama Bobi. Dia adalah anak Barman. Bobi adalah anak yang benar-benar berbakti pada Ayahnya. Dia sangat perhatian dan menyayangi Ayahnya. Apapun yang diinginkan Ayahnya selalu dia turuti.
Tokoh Bobi ini menggambarkan betapa sayangnya anak terhadap orang tuanya. Seorang anak yang yang menginginkan orang tuanya merasa tenang dan damai dalam masa tuanya. Selain itu, dia juga seorang anak yang ingin membalas kebaikan Ayahnya selama ini.
Identitas buku
No : 4
Judul : Canting
Pengarang : Arswenda Atmowiloto
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 1986
Sinopsis:
Raden Ngabehi Sentorokusumo seorang pengusaha batik tradisional yang dibuat dengan menggunakan canting yang terletak di daerah Surakarta, dia juga mempunyai keturunan seorang bangsawan atau masih memiliki ikatan darah dengan para kerabat kraton. Pak Bei memutuskan untuk menikahi seorang gadis kampung atau gadis buruh yang bernama Tuginem yang status sosialnya sebagai buruh batik keluarga Ngabehi Sentrokusumo yang akhirnya setelah menikah dipanggil dengan Bu Bei. Keputusannya itu ditentang oleh keluarga Ngabehi Sentorkusumo akan tetapi pernikahan pun tetap berjalan. Rumah tangga keluarga Ngabehi Sentrokusumo sangat harmonis. Bu Bei memperjuangkan usaha batiknya dengan sangat gigih sehingga semua kalangan tahu akan keberadaan dan kualitas atau eksistensi batik Canting dari berbagai daerah di pulau Jawa, yang diantaranya Semarang, Pekalongan, Surabaya, Jakarta. Walaupun bu Bei telah menjadi sesosok wanita yang mempunyai karir yang lancar dalam mengembangkan usaha batiknya, ia tidak akan lupa akan tanggung jawabnya terhadap keluarga, yang suatu saat dia harus mengurusi pekerjaan yang berhubungan dengan rumah tangga dan melayani suami dan anak-anaknya.
Di pasar Kelewer lah semua wanita berlomba-lomba untuk berkarir, bagi mereka pasar Kelewer adalah tempat berkarya dan seolah berkata “Akan aku buktikan pada dunia bahwa wanita dapat hidup selayaknya laki-laki, bekerja dan mengurusi semua pekerjaan rumah tangga dengan memanfaatkan keterampilan dan kemampuanya untuk hidup dan berkarya”. Pasar Kelewer mempunyai sejarah yang sangat berharga bagi para wanita. Pasar Kelewer mempunyai karisma sendiri dikalangan para wanita karena di sanalah mereka melepaskan keluh kesah atau sebagai obat penenang untuk menghilangi rasa penat dalam mengurusi rumah tangga walaupun sebenarnya tidak ada keluh kesah dari mereka dalam mengurusi rumah tangga. Seiring perkembangan zaman dalam batik Canting pun mengalami penurunan kuantitas angka siklus penjualan, penurunan tersebut karena faktor daya saing dari beberapa perusahan industri batik besar, daya beli yang turun dikarenakan tingginya harga batik Canting yang ditawarkan dibandingkan batik yang diproduksi perusahan batik industri besar yang menggunakan alat printing atau alat pencetak batik, lain dengan Printing lain juga dengan Canting, batik Canting diproduksi sangat tradisional butuh beberapa hari dalam pembuatanya, proses pembuatanya dengan penuh kesabaran dan ketelitian, akan tetapi hasil yang dijanjikan sebenarnya lebih bagus sedikit dari batik Printing. Keterbatasan akan hasil daya beli konsumen terhadap batik Printing akhirnya membuat Bu Bei sedikit frustasi dan Bu Bei mengalami sakit yang berkepanjangan, walaupun keadannya yang sakit akan tetapi dia tidak mau menyerah dia terus berfikir bagaimana caranya untuk membuat masa kemasan lagi bagi batik Canting atau mengeksistensikan lagi batik Canting, dari berbagai macam cara untuk memperkenalkan batik Canting akhirnya dia memutuskan untuk merubah nama batik Canting dengan nama Canting Daryono.
Keputusan akan merubah merek dari batik Canting menjadi Canting Daryono lambat laun menjadi nampak akan pergerakannya, dan seiring itu juga batik mereka mulai dikenal oleh beberapa turis asing. Melihat perkembangan yang sudah mulai kelihatan walaupun belum meningkat secara signifikan akan tetapi mereka terus berusaha untuk melestarikan batik tersebut. Dan hingga akhir penghujung NI pun menikah dengan hermawan seorang pria yang sudah lama menjadi kumbang dalam hatinya yang pernikahannya diadakan pada saat selamatan setahun meninggalnya Bu bei.
Analisis Makna
Novel ini banyak terdapat suatu nilai-nilai kebudayan yang dapat diambil pelajaran, dengan membaca novel ini secara tidak langsung kita dapat mengetahui suatu kebudayan adat Jawa, dari perilaku etika bersosialisasi, berkomunikasi bahkan kita dapat melihat tingkatan-tingkatan sosial atau strata social pada masyarakat budaya Jawa, di samping itu novel ini juga menjelaskan tentang tinjauan femenisme yaitu usaha pemahaman perempuan atau wanita seperti tercermin dalam karya sastra. Dalam novel ini menceritakan status sosial wanita dalam masyarakat dan keluarga, pada dasarnya di novel ini menceritakan adat Jawa yang pada saat itu masih menjunjung nilai lapisan-lapisan dalam masyarakat sehingga memberikan deskriminasi terhadap kesenjangan masyarakat golongan bawah atau pekerja buruh. Pada novel tersebut awalnya wanita bukanlah siapa-siapa yang tugasnya hanyalah mengurusi rumah tangga dan anak-anaknya. Namun dengan adanya Pasar Kelewer memberikan suatu yang sangat berharga karena dengan adanya Pasar Kelewer dapat memberikan suatu kebebasan berkarya dan berkarir. Pasar Kelewer bukan hanyalah sebuah pasar yang setiap pagi dan siang ramai dikunjungi penjual dan pembeli ketika malam hilang dimakan kesenyapan, menurut para wanita, Pasar Kelewer adalah jati diri mereka, dan hasil jerih payah itu mereka pun mampu menghidupi keluarganya, walaupun begitu mereka tidak melupakan asal mereka yaitu sebagai ibu rumah tangga yang suatu saat melayani anak-anaknya dan suaminya. “Walaupun Bu Bei telah menjadi seorang wanita karir ia tidak meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu rumah tangga. Dia tetap melayani suami dan anak-anaknya dengan baik”
Identitas Buku
No : 5
Judul : Ronggeng dukuh paruk
Pengarang : Ahmad tohari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun penerbit : 1998
Sinopsis :
Dukuh Paruk merupakan sebuah dukuh yang kecil dan menyendiri. Dukuh Paruk mempunyai seorang moyang yang dulunya sebagai Bromocorah tetapi setelah meninggal orang-orang dukuh Paruk pun memuja kuburanya. Bahkan kuburanya pun menjadi kiblat kebatinan mereka. Serintil merupakan seorang gadis kecil yang berumur sebelas tahun yang mempunyai masa lalu yang menyedihkan, akan tetapi Serintil mempunyai suatu kelebihan yang tak jarang dimiliki oleh orang-orang yaitu menari selayaknya seorang Ronggeng. Suatu ketika ada tiga anak laki-laki sedang mencabut sebatang singkong di tanah kapur mereka adalah Rasus, Warta dan Dasun setelah singkongnya telah tercabut mereka pun sibuk mengupasinya dengan gigi mereka, seketika itu mereka melihat Serintil yang sedang asik menari sambil mendendang beberapa buah lagu kebangsaan Ronggeng lalu mereka pun menghampiri Serintil dan ikut menari bersamanya.
Sakarya adalah kakeknya Serintil beliau sangat menyangi Serintil apalagi semenjak meninggalnya orang tua Serintil, kakeknyalah yang merawatnya. Pada waktu itu Sakarya mengikuti gerak-gerik Serintil ketika menari, sungguh sangat bangganya ketika melihat Serintil menari. Dan kakeknya pun berpendapat bahwa serintil telah dirasuki oleh Indang Ronggeng.
Lalu keesokan harinya Sakarya menemui Kertareja seorang dukun Ronggeng didukuh Paruk. Mereka pun membicarakn kepandaian Serintil dalam menyanyi dan menari Ronggeng. Namun beberapa hari kemudian Sakarya dan Kartareja selalu mengintip Serintil ketika menari di bawah pohon nangka. Lalu Sakarya menyerahkan Serintil kepada Kertareja yang merupakan salah satu syarat dukuh Paruk yang mengatur perihal seorang calon Ronggeng .
Sudah dua belas tahun Ronggeng Dukuh Paruk telah mati adapun perkakas-perkakas yang selama ini mengiringi pementasan Ronggeng pun hampir rusak akan tetapi masih bisa digunakan, dan kini mulai mempersiapkan pementasan Ronggeng lagi setelah dua belas tahun telah hilang dan kini yang menjadi penari adalah Serintil, Serintil pun didandani oleh Nyi Kertareja selayaknya seorang Ronggeng dan tidak lupa Nyi Kertareja meniup matera pekasi keubun-ubun Serintil matera yang berkasiat memberikan suatu aura kecantikan dari yang sebenarnya. Dan beberapa susuk emas dipasang oleh Nyai Sakarya di tubuh Serintil.
Bukan main senangnya hati masyarakat Dukuh Paruk ketika mendengar Kertareja bersuara akan melakukan pertunjukan Ronggeng. Lalu Serintil pun mulai melenggak-lenggok di atas panggung selayaknya apa yang dilakukan para Ronggeng di pentas pertunjukan bahkan Serintil pun mempertunjukan kemampuan menarinya yang sangat propesional dan melantunkan gerak-gerik yang secara umum sulit dilantunkan oleh penari-penari Ronggeng lainnya.
Kini pun Rasus menyadari bahwa dia pun kini semakin kurang diperhatikan oleh Serintil, akhirnya beberapa cara pun dilakukanya untuk mendapatkan kembali perhatianya Serintil, Rasus pun mencoba memberikan buah pepaya hasil curian dari ladang tetangganya, akan tetapi Serintil pun hanya memberikan sebuah ucapan terimakasih itu pun sangat menyakitkan. Lalu Rasus pun memberikan sebuah keris Kyai Jaran Guyang.
Di desa Dawuan, tempat pemuda Rasus mengasingkan diri, dia banyak merenung. Bayangan Srintil sebagai orang bayang-bayang Emaknya yang melebur dalam diri Srintil memintanya untuk menjadi suaminya, maka dengan tegas Rasus menolak. Karena Rasus sudah memutuskan bahwa biarlah dia mengalah dan biarlah Srintil menjadi milik orang banyak, menjadi Ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk.
Analisis Makna
Dalam novel RONGGENG DUKUH PARUK yang juga menggunakan pendekatan Feminisme dan pendekatan Culture Satra.
Disini mengisahkan seorang anak perempuan berusia 11 tahun yang akan menjadi Ronggeng. Sebelum menjadi ronggeng dia harus menempuh dua syarat yang salah satunya adalah malam bukak klambu. Malam bukak klambu adalah malam dimana seorang calon ronggeng memberikan keperawanannya pada seorang lelaki yang mampu membayarnya dengan harga mahal. Rasus laki-laki yang dicintai Srintil yang mendapatkannya karena kemauan Srintil.
Novel ini menggambarkan seorang wanita yang bisa dinikmati laki-laki manapun atau perempuan yang menjadi milik semua lelaki. Hal ini sangat bertentangan dengan norma agama dan sosial. Tidak sepantasnya seorang wanita melakukan hal itu dengan lelaki yang bukan suaminya.
Tapi dalam kehidupan di Dukuh Paruk, menjadi seorang ronggeng bukanlah hal yang tabu. Disini menjadi seorang Ronggeng adalah suatu kebanggaan tersendiri. Bahkan istri yang suaminya bisa meniduri calon ronggeng pun juga merasa bangga. Dalam Dukuh Paruk tidak mengenal batasan tabu. Perbuatan seksualitas jauh dari nilai sakralitas.
Ronggeng dalam novel ini juga diceritakan tidak boleh menikah dan memiliki keturunan. Hal ini dikarenakan jika rongeng hamil akan mengganggu pekerjaannya. Padahal Srintil sangat menginginkan kedua hal tadi, tapi dia tidak bisa melakukannya. Istri dukun ronggeng telah membuatnya tidak bisa mempunyai keturunan karena dia harus melayani lelaki manapun. Perbuatan istri dukun ini sangatlah tercela. Dia sudah merampas hak orang lain dan membuat orang tersebut menderita. Pada kodratnya seorang wanita itu akan mempunyai keturunan, tapi tidak dengan Srintil. Dia juga ditinggal pergi lelaki yang dia cintai. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan munkar .
Dari segi agama sudah memberikan suatu batasan-batasan dalam bergaul dengan sesama manusia apalagi berhubungan dengan lawan jenisnya.
Identitas Buku
No : 6
Judul : Saman
Pengarang : Ayu Utami
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 1998
Sinopsis :
Berawal dari pernikahan antara Sudoyo dan Raden Ayu yang melahirkan seorang buah hati kecil yang diberi nama Wisanggeni, Wisanggeni tumbuh dan berkembang dengan sangat baik dan ia menjelma menjadi seorang pemuda yang tampan, beranjak dewasa Wisanggeni menjadi seorang pastur yang sangat ramah hingga pada suatu ketika Wisenggeni pun di pertanyakan orang-orang akan keberadaanya, hingga orang-orang gereja pun mengira bahwa Wisanggeni sudah tiada atau meninggal dunia, ternyata setelah beberapa tahun lamanya Wisenggeni pun merubah identitasnya dengan panggilan Saman dan dengan propesi sebagai pengacara yang propesional yang tinggal di sebuah ibu kota propinsi Sumatra Selatan yaitu Palembang.
Sesuai dengan pekerjaan seorang pengacara, Saman pun mendapatkan suatu order dari temannya yaitu Laila yang melaporkan permasalahan yang dihadapi oleh temannya yaitu Sihar. Sihar adalah seorang Insinyur yang berpropesi sebagai analisis kandungan minyak di perusahaan pertambanagn minyak Seis Modyese, dan Sihar pun menceritakan duduk persoalanya kepada Saman selaku pengacaranya.
“Ketika itu tejadi ledakan yang sangat dasyat yang menyebabkan salah seorang teman Sihar meninggal dunia, ledakan itu dikarenakan kutup peredam yang meledak di mulut sumur tersebut, yang semua itu semata-mata karena ulah dari Rosana yang dikenal oleh orang-orang dengan sifatnya yang antagonis yaitu egois dan suka berbohong.” Setelah mengetahui permasalahanya, Saman pun mulai mencari celah bagaimana caranya untuk memenangkan sidang pengadilan tersebut. Dari berbagai upaya untuk menjatuhkan Rosana, akhirnya Saman pun memenangkan Sidang tersebut, sihar merasa puas dengan kemenangan di pengadilan itu.
Sihar dan Laila merupakan seorang sepasang kekasih yang saling mencintai, hingga pada suatu ketika Laila rela menyerahkan sebuah mahkota kesuciannya dijamah oleh kelembutan dan belaian kasih sayang Sihar, perbuatan mereka seolah menjadi suatu rutinitas yang tanpa adanya suatu batasan-batasan walaupun sebenarnya mereka belum diikat oleh sebuah ikatan suci yaitu sebuah pernikahan. Dan pada akhirnya Laila pun kecewa terhadap Sihar walaupun sebenarnya Laila masih mencintai Sihar, Laila kecewa dengan Sihar karena Sihar yang dicintainya menikah dengan wanita lain.
Analisis Makna
Di dalam cerita novel yang berjudul ”Saman” banyak berbagai pelajaran yang dapat diambil, salah satunya dari segi penokohan, Nilai moral, nilai Sosial yang secara eksplisit kita dapat menjumpai pada setiap cerita. Dari segi penokohan kita dapat mempelajari karakteristik tokoh yang diperankan dalam novel ini, sehingga dari apa yang didapat memberikan suatu pelajaran. Dari segi moral dalam novel tersebut menceritakan persetruan antara seorang kekasih dalam berhubungan yang tidak selayaknaya dilakukan oleh sepasang kekasih yang belum mempunyai hubungan atau sebuah ikatan resmi. Di dalam novel ini mendeskripsikan pada ketiga tokoh wanita yaitu Laila, Yasmin dan Shakantala yang rela menyerahkan sebuah keperawanannya kepada orang yang belum mempunyai ikatan resmi dengannya, walaupun sebenarnya kedua-duanya saling mencintai, begitu juga hubungan antara Saman dan Yasmin walaupun sebenarnya Yasmin sudah menikah akan tetapi mereka seolah melupakan apa yang telah ditetapkan. Dari segi sosial kita dapat melihat adanya suatu hubungan yang terlarang dalam sebuah pergaulan yang semestinya tidak layak dilakukan. Dalam perspektif feminisme menilai bahwa adanya suatu upaya dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan dari karya sastra itu sendiri. Ketika mengkaji novel tersebut dengan menggunakan perspektif feminisme banyak yang tidak relevan dengan cerita yang terdapat dalam novel tersebut yang lebih menonjolkan dalam tokoh-tokoh wanita yang secara eksplisit melecehkan kaumnya sendiri, salah satu contoh bentuk yang semestinya tidak dilakukannya adalah mereka melakukan seks dengan pasangan yang bukan resminya, mereka semata-mata hanya mendayagunakan bahwa yang mereka lakukan hanyalah sebuah ”Cinta dan Sayang” akan tetapi dibalik semua itu mereka hanya menginginkan sebuah kepuasan yang sesaat yaitu berupa nafsunya belaka. Demi untuk memenuhi suatu kepuasan biologis dia rela menyerahkan sebuah keperawanan yang sangat berharga yang dia miliki yang suatu saat keperawanan itu akan diberikan kepada suaminya akan tetapi mereka melecehkan harga diri kaum wanita dengan memudahakan kesucian yang dia miliki diberikan kepada pasangan yang bukan resminya. Di dalam tinjauan agama jelaslah bahwa semua perbuatan itu adalah perbuatan maksiat yang haram dilakukan oleh manusia. Adapun seperti surat Al-Isra ayat 32:
“Janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji dan munkar “.
Dari segi agama sudah memberikan suatu batasan-batasan dalam bergaul dengan sesama manusia apalagi berhubungan dengan lawan jenisnya.
Identitas buku
No : 7
Judul : Harimau-harimau
Pengarang : Mochtar Lubis
Penerbit : Yayasan obor Indonesia
Tahun terbit : 2003
Sinopsis :
Ada sekelompok orang yang berkelana di sebuah hutan yang sangat keramat, mereka adalah Pak Balam, Pak Haji, Talib, Sutan, Buyung, Sanip dan Wak Katok mereka pergi ke hutan mencari damar. Pagi itu mereka mulai memasuki hutan, di dalam perjalanan mereka sangat gembira walaupun beban dipundak mereka berupa alat-alat perlengkapan tambang seperti cangkul, skop dan beberapa karung, serta parang. Pada kesempatan itu Wak Katok membawa senapan api yang sudah sangat tua, Buyung sangat suka membawa senjata api itu dan dilain kesempatan Buyung membersihkan senjata itu dengan sangat teliti hingga ujung laras senapan itu tampak berkilauan. Di perjalanan yang panjang walaupun secara fisik mereka sangat kelelahan, akan tetapi mereka berusaha untuk tidak menunjukan kelelahan itu, mereka saling menghibur. Setiap malam datang mereka selalu berhenti untuk tempat beristirahat, mereka mendirikan pondok-pondok untuk bermalaman, pada malam datang seperti ini setiap orang menunjukan kemampunan mereka atau pun pengalaman mereka. Tak heran pada malam itu letih yang menyelimuti tubuh serasa hilang dan lari menjauhi mereka. Canda dan tawa menghiasi malam itu di depan kobaran api. Setelah matahari menduduki tempatnya malam, mereka pun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan hingga sampai ditempat tujuan. Setelah sampai di tempat tujuan mereka pun melakukan niat mereka semula yaitu mencari damar sebanyak-banyaknya. Setelah terkumpul banyak mereka bersiap-siap untuk pulang ke desa mereka. Dalam perjalanan pulang mereka tidak melewati jalan pada waktu datang mereka melewati hutan yang di huni oleh orang yang sudah tua dengan isterinya itu karena dinilai dekat menuju pulang, sebelum sampai di desa, mereka pun berniat untuk beristirahat di tempat orang tua itu, adapun nama orang tua itu adalah wak Hitam, di desa mereka, Wak Hitam dikenal dengan orang yang mempunyai kemampuan ghaib dan sangat sakti. Di tempatnya Wak Hitam mereka terpesona melihat Siti Rubiyah isterinya Wak Hitam, Siti Rubiah sangat cantik sehingga memancarkan pesona hingga ketujuh orang tersebut mabuk kepayang dibuatnya akan tetapi mereka masih segan dengan Wak Hitam, tetapi lain halnya dengan Wak Katok dia mencoba merayu Siti rubiyah akan tetapi Siti Rubiyah menolaknya. Pagi itu mereka pergi untuk melanjutkan perjalanan, baru seperempat perjalanan ternyata Buyung meninggalkan sesuatu yaitu ia lupa memeriksa perangkap pelanduk yang dipasangnya sewaktu berada di tempat Wak Hitam. Buyung pun segera kembali ke tempat Wak Hitam setelah perangkapnya dilihat ternyata perangkap itu pun berisi seekor pelanduk. Buyung pun kembali melanjutkan perjalanan kembali akan tetapi pada waktu sampai di tepi sungai dia melihat Siti Rubiah yang sedang duduk sendiri berlayar pada lamunan yang tidak dapat disangka-sangka olehnya. Buyung pun tak sengaja yang melihat seperti itu langsung menghampirinya dan mencoba untuk menghibur Siti Rubiyah akhirnya kesediahan yang dialami Siti Rubiyah terlepas, seperti burung yang terbang sangat riang setelah ribuan tahun terkurung dikurungan sewaktu ia menceritakan kesedihan dan kesepian selama ia tinggal bersama Wak Hitam, dan ribuan kehausan akan kebutuhan yang semestinya didapati dari Wak Hitam, akan tetapi dia baru mendapatkan semua itu dari Buyung. Penuh pertimbangan seorang Buyung untuk membantu Siti Rubuiah dari kesepiannya. Akan tetapi apa daya Buyung karena secara tertulis Siti Rubiah adalah Isteri Wak Hitam dan sebelum kembali ke menyusul teman-temannya.
Buyung pun berjanji akan mencari solusi yang terbaik. Lalu Buyung melanjutkan perjalanannya kembali. Setelah sampai di tempat perkumpulan dengan teman-temannya. Wak Katok pun mengajak buyung berburu Rusa, menjelang malam tak kunjung mendapatkan buruan lalu mereka memutuskan untuk berburu lagi setelah pagi tiba. Pagi telah tiba mereka pun berburu lagi, pagi itu hari keberuntungan berpihak kepada mereka karena dari kejauhan mereka melihat dua Rusa, dengan bidikan yang sangat jitu dari Buyung sehingga Rusa pun mati. Rusa itu langsung di bawah tempat penginapan. Setelah malam tiaba Pak Balam yang hendak buang air kecil di pinggir sungai tiba-tiba diterkam oleh Harimau, Pak Balam pun akhirnya sekarat karena kekuranagn darah, Wak Katok pun langsung memberikan perawatan yang intensif kepada Pak Balam. Pak balam pun meronta-ronta dan seolah memberikan suatu petuah agar orang-orang yang bersamanya untuk bertobat dan menceritakan kesalahan-kesalahan yang dialami mereka dulu, akan tetapi tak seorang pun yang mengaku, menurut pendapat pak Balam harimau yang menerkam dirinya adalah harimau jadi-jadian yang diutus untuk mencabut nyawa bagi orang-orang yang bersalah, akan tetapi pendapat itu ditentang oleh teman-teman yang lain. Dan ada yang bilang bahwa harimau tersebut diutus oleh Wak Hitam karena Wak Katok menggoda Siti Rubiah. Hingga dari ketujuh orang tersebut tinggal tiga orang yang selamat dari terkaman Harimau yaitu Buyung, Sanib dan Wak Katok akan tetapi Wak Katok sebagai status tahanannya Buyung dan Sanib karena niat jahat yang dilakukan Wak Katok demi untuk memutihkan citra baiknya dimata orang-orang desa apabila ia sampai di Desa.
Analisis Makna
Pada analisis Novel yang berjudul Harimau-Harimau saya mencoba menggunakan pendekatan Psikologis Sastra dan Religi Sastra. Pendekatan Psikologi Sastra maksudnya melihat dari segi perwatakan tokoh-tokoh di dalam novel sastra baik itu pada waktu sebelum klimaks dan setelah klimaks. Dalam Novel tersebut yang menjadi tokoh utamanya adalah Buyung, Buyung yang mempunyai kepribadian yang sangat cerdas dan mampu menahan segala sesuatu yang buruk dan lebih mencontohkan suatu moral dan cara berfikir yang rasional dan bijaksana, hal ini dapat dilihat dari jalannya cerita ketika ia berusaha untuk menghilangkan rasa keamarahanya dan melakuakn sesuatu yang baru, walaupun Buyung sangat maraha kepada Wak Katok akan tetapi dia tidak membalas Wak Katok dengan perbuatan yang semata-mata ditunjukan dalam pelampiasan hatinya semata, dia pun ingat pesan dari Pak Haji sewaktu sebelum meninggal ditembak Wak Katok adalah “Sebelum kalian membunuh harimau itu bunuhlah harimau yang ada didalam hati kalian terlebih dahulu” . dari Segi Religi Sastra maksudnya banyak sesuatu yang dipesankan lewat novel ini tenatang pelajaran kerohanian adapun yang bersifat nilai-nilai kerohanian adalah: Pertama, Jangan mudah mempercayai orang lain akan tetapi tidak juga untuk berburuk sangka terhadap orang lain. Kedua, Untuk membunuh Harimau, bunuh lah harimau yang ada di dalam dirimu. Ketiga, Janganlah mudah mempercayai sesuatu yang bersifat mistik. Dari ketiga itu dapat dijelaskan yang pertama adalah pada novel tersebut digambarkan bahwa tong kosong nyaring bunyinya yang dideskripsikan dari tokoh Wak Katok yang mengagung-agungkan dirinya semata-mata untuk memperbaiki citra dirinya di hadapan orang-orang akan tetapi pada kenyataanya ia tidak mempunyai suatu keahlian. Dan masih yang pertama kita tidak boleh berburuk sangka terhadap orang lain walaupun sebenarnya perlakuan yang orang lain perbuat merugikan kita akan tetapi kita disuruh untuk tetap mencari kebenaran tanpa mendahulukan pikiran buruk. Adapun dari yang kedua adalah Untuk membunuh harimau yang asli bunuh lah harimau yang ada di dalam hati mu. Dalam hal ini sangat memberikan nilai moral karena kita secara tidak langsung mendapatkan suatu inspirasi terhadap buasnya pengaruh jahat lingkungan yang terjadi di sekitar kita, untuk membunuh buasnya kejahatan itu kita harus membunuh buasnya kejahatan yang ada di dalam diri kita, karena di dalam hati kita terdapat jutaan perasan yang terpendam tidak akan kita ketahui. Yang ketiga adalah kita jangan mudah percaya dan menggantungkan semua pada sesutu hal yang berbau mistik. Kita harus menggantungkan kepercayan kepada Allah SWT walaupun dalam hal ini kita tidak juga lupa untuk berusaha.
Identitas buku
No : 8
Judul : Mereka Bilang Saya Monyet
Pengarang : Maesa Ayu Djenar
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2002
Sinopsis :
(Mereka Bilang Saya Monyet)
Orang-orang bilang bahwa aku adalah orang yang aneh tubuhku dan fisikku akan tetapi mereka lebih dari buruk bagiku, akan tetapi sebenanya tindakan mereka lebih buruk dari apa yang aku alami mereka pernah bilang bahwa pikiran-pikiran mereka adalah akal akan tetapi pikiran-pikiran tersebut tidaklah mereka gunakan pada kenyataanya. Dilain kesempatan mereka mencemooh diriku. Mereka bilang bahwa aku adalah seekor monyet yang berkaki empat, entah apa yang harus ku perbuat ketika melihat orang-orang yang melakukan sesuatu di luar batas kode etik dan bermandian gemerlap kenistaan dan dosa. Aku mencoba untuk berteriak dan berkata agar supaya mereka melakuakn sesuatu dengan semestinya. Akan tetapi mereka malah menyerang dan menatapku denagn tatapan yang tidak bersahabat. Tidak sampai disitu mereka pun mencoba untuk menjerumuskan aku tetapi apa dayaku untuk semua itu ketika aku dihadapkan oleh suatu kenyataan yang sangat pahit.
(Lintah)
Didalam cerpen ini menceritakan sebuah perjalanan pahit seorang anak yang diduakan kasih sayang dengan ibunya oleh seekor Lintah. Dimana pada lain waktu Lintah mencoba merebut perhatian anak tersebut dari perhatian Ibunya. Lintah merupakan ilustrasi bagi pacar sang Ibunya yang karena setiap saat Lintah tersebut semakin memakan darah Ibu, dan disaat yang berlainan Lintah pun diam-diam menggerogoti tubuh dirinya. Dan hingga akhirnya sangat berat untuk menerima semua itu adalah bahwa ia harus menerima Lintah itu sebagai Ayah tirinya karena Ibunya telah mengandung anak Lintah itu.
(Melukis Jendela)
Dalam cerpen ini menceritakan sosok anak yang dimana sering menjadi budak nafsu para teman-temannya. Sehingga tokoh Myra didalam cerpen ini sangat mendapatkan suatu beban atau setresing dengan melampiaskan semua itu denagn membuat sebuah jendela yang diharapkan untuk masuk ke dalam jendela tersebut dan lari bersama imajinasinya sampai di penghujung akhir dia masih belum mendapatkan kebahgiaan dan kasih sayang dari orang-orang yang seharusnya mencurahkan kasih sayangnya yaitu orang tua dan teman-temannya dan kini Mayra tak diketahui dimana keberadaanya.
Analisis Makna
Novel Djenar Maesa Ayu dalam kumpulan Mereka Bilang Saya Monyet, ini berkisar atau berlatar belakang Ikhwal anak-anak masih sangat remaja yang tidak berbahagia dalam keluarga, karena kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tua, atau karena ibu atau ayah yang lebih mementingkan serta asik pada diri sendiri, atau karena telah kehilangan orang tua di masa yang sangat muda, berikut pelecehan seksual terhadap sang anak oleh orang dekat dalam keluarga atau oleh lingkungannya (teman sekolah), dan sekaligus menjedahkan respon atau akibatnya bagi para korban.
Dunia anak-anak adalah dunia yang kaya dengan imajinasi. Maka adalah wajar dalam menghadapi penindasan dari ibunya dan pacar sang ibu, sang anak dalam cerpen “Lintah” langsung melebih-lebihkan Ikhwal, “Ibu saya memelihara seekor Lintah” dan seterusnya ia mendongeng tentang kecintaan sang Ibu kepada Lintah lebih dari pada diri sang anak, tentang Lintah yang bisa membesar dan jadi ular dan membelah dirinya menjadi banyak ular, tentang hubungan intim antara Lintah dan Ibunya, tentang lintah dan ular itu menggerayangi tubuhnya diam-diam dan memperkosanya. Dan bahkan akhirnya lebih dari itu, sang Ibu mengandung karena Lintah dan berniat mengawini hewan tersebut.
Dalam cerpen “Lintah” imajinasi berperan sebagai pembesaran terhadap realitas. Dengan pembesaran ini sang anak mengharapkan simpati dari para pendengar kisah, yang mungkin akan membebaskan dirinya dari realitas yang pedih. Dalam “Lintah” sang tokoh cerita “Saya” hampir tidak melakukan perlawanan apapun kecuali ketika ia berusaha menyemprot Lintah yang menjadi ular di kepala sang Ibu dengan obat seranga.
Berbeda dengan ”Lintah”, dalam “Melukis jendela” Mayra yang tak pernah melihat ibunya dan selalu tidak mendapatkan kasih sayang Ayah, dan berusaha menyelamatkan diri sendiri lewat imajinasi dengan melukis Ayah dan Ibunya dari imajinasinya itu (lukisan ayah, ibu) dia berangan-angan mendapatkan kasih sayang orangtuanya. Gagal dengan lukisan ayah dan ibu, ia melukis jendela yang meberikan kebebasan kepada dirinya. Lewat lukisan jendela itu ia bisa mendapatkan ventilasi kebebasan dan bahkan bisa melakukan pembalasan imajinatif terhadap teman-teman sekolah yang telah melakukan pelecehan seksual terhadap dirinya.
Lewat lukisan jendelanya itu ia bisa membayangkan atau melihat dunia yang indah sesuai dengan hasratnya:
“Mayra melukis jendela, masuk dan menemukan dirinya berada di sebuah taman indah penuh warna-warni. Dua anak perempuan kecil menghampiri dan tersenyum kepadanya. Wajah mereka mirip dengan Mayra namun jauh lebih cantik. Pipi mereka merona merah, kulit mereka putih bersih, baju mereka kenakan begitu indah dengan mahkota bunga di kepala mereka. Mereka lebih mirip bidadari ketimbang anak manusia. Mayra mengecup mereka dengan lembut dan menuntun mereka menuju ke pelangi emas bertahtakan mutiara. Seorang lelaki sudah menunggu disana. Merentangkan tangan untuk memeluk mereka semua”.
Akhirnya bisa dikatakan, terinspirasi dengan lukisan jedelanya, ia mengambil tindakan nyata membebaskan diri dari kenyatan yang menghimpitnya. Ia meniggalkan rumah dan “Mayra tak pernah kembali”.
Identitas buku
No : 9
Judul : Keluarga permana
Pengarang : ramadhan K.H.
Penerbit : Gramedia
Tahun terbit : 1986
Sinopsis :
Sumarto dan Farida merupakan sepasang pengantin baru, namun kebahagiaan pun akhirnya menyelimuti duka karena ketika itu Farida jatuh pingsan, Sumarto suami Farida pun nampak air muka yang gugup dan penuh kegelisahan, akhirnya Sumarto pun memanggil ibunya, melihat keadaan yang semakin parah Farida pun dibawa ke Rumah Sakit. Setiba di Rumah Sakit Ida pun langsung ditangani oleh para dokter dan hasilnya ida pun harus dirawat Di Rumah Sakit untuk di opname, menjelang malam tiba kesepian yang menjadi kemelut selimut Rumah Sakit pada waktu itu menyertai kegelisan Ida, dan setiba itu Ida pun mulai terbangun dari tidurnya untuk mengambil air, lalu Ida pun terjatuh dan kepalanya membentur meja pembasuh, sepontan suasana yang awalnya sunyi tiba-tiba menjadi ramai dengan sendirinya, mendengar suara yang gaduh dari kamar ida perawat pun bergegas datang ke kamar Ida tapi Ida sudah tidak bisa di tolong lagi kini Ida pun meninggalkan orang-orang yang dia cintai untuk selama-lamanya.
Keluarga sumarto pun dengan perasan sedih dan duka mengabarkan ke orang tuanya Ida bahwa Ida telah meninggal sewaktu di Rumah Sakit, permana dan Saleha pun terkejut dan air muka mereka sepontan seolah kain lusuh yang di gunakan untuk membersihkan lantai air mata mereka mengalir bak tetesan hujan di musim kemarau, suasana menjadi hening dan sepi, sempat terpikirkan oleh Saleha ibunya Ida akan status agama Ida yang sekarang beragama Katolik, walaupun sebenarnya Saleha pun tahu bahwa Ida masuk Agama Katolik dengan terpaksa.
Tersentak batin Saleha mulai berontak dan pikirannya pun kini riuh tidak terkontrol sehingga mengakibatkan pertengkaran dengan suaminya, mereka mepersoalkan tentang ketika pemakaman nanti Ida hendak dimakamkan dimana, di Pemakaman Sirnaraga tempat pemakaman orang Islam atau di Pemakaman Pandu tempat pemakaman orang Kristen.
Tersentak batin Permana mengingat masa lalu Ida yang sangat menyedihkan tak jarang Ida di pukul oleh Permana, ketika itu permana bertengkar dengan Saleha karena suatu masalah yang kecil, Permana pun marahnya setiap hari semakin jadi kini rumah mereka seakan neraka yang membakar orang-orang yang ada di sekeliling rumah mereka. Akan tetai Saleha pun mulai mengetahui kenapa belakangan ini permana sering marah-marah. Lalu Saleha mulai menjelaskan duduk permasalahan dengan Permana dan akhirnya permana pun sekarang sudah mulai berubah dan jarang marah.
Permana sekarang dipecat dari pekerjaannya, kini terbesit rasa akan kecemburuan Permana terhadap Saleha akan tetapi Permana pun mulai menyadari perbuatanya. Pagi itu ada seorang pemuda yang berpenampilan rapi dan meyakinkan dia adalah Sumarto, ia bekerja di sebuah perusahaan Asuransi dan dulunya Sumarto juga kuliah di Fakultas Kedokteran akan tetapi gagal, adapun kedatangannya adalah untuk mondok di rumahnya Permana. Permana pun semakin simpati terhadap Sumarto dan semua itu akhirnya diceritakanlah ke Saleha isterinya bahwa kedatangan Sumarto adalah untuk mondok di rumahnya.
Suatu hari kedatangan Sumarto lebih awal sehingga memberikan kesempatan Ida dan Sumarto untuk menjalin suatu hubungan yang sangat mendalam. Pagi itu Permana kelihatan murung karena melihat kedekatan hubungan antara Ida dan Sumarto, permana pun mulai menceritakan kedekatan Sumarto dan Ida ke Saleha akan tetapi Saleha pun melepaskan semua itu ke Permana, pada esok harinya permana menemui Sumarto dan menyuruhnya untuk pergi dari pemondokannya dengan alasan rumah itu akan dijual, Sumarto pun sepontan kaget dengan keputusan Permana karena kemungkinan untuk bertemu lagi dengan Ida sangatlah sedikit, Sumarto pun menulis surat untuk Ida, surat itu di letakan di bawah pot bunga di tempat kotak pos.
Malam itu seperti biasa makan malam keluarga, akan tetapi kali ini tidak dihadiri oleh Ida karena Ida sedang tidur-tiduran di kamar dengan kondisi yang bingung dan sedih, melihat gelagat seperti itu Saleha pun menghampiri Ida ke kamarnya sebelum sampai di kamarnya Ida, Komariah pun memberanikan diri untuk menghampiri Saleha dan mengatakan bahwa Ida sudah 2 bulan ini dia tidak haid. Mendengar ceritanya Komariah penasaran di batin Saleha seakan tak terbendung Saleha pun mulai bertanya kepada Ida dan Ida pun awalnya bungkam seribu bahasa tapi akhirnya Ida pun menceritakan semua kejadian itu. Seolah dijerat tali tambang di lehernya Saleha pun akhirnya menceritakan peristiwa itu ke Permana. Permana sangat marah hingga semua badanya terasa mendidih. Dan kini mulai terbedit pikiran Saleha dan Permana untuk mengguguri janin yang ada di dalam kandungannya Ida, Ida pun di bawa ke seorang dukun , perut Ida dipijat dan diberi ramua-ramuan, keesokan harinya Ida pun mulai bereaksi perutnya terasa sakit dan mengeluarkan darah melihat perkembangannya, Permana langsung mengabarkan ke Saleha.mendengar kabar tersebut senanglah hati Saleha akan tetapi beberapa saat perut Ida semakin parah dan tambah sakit melihat gejala yang terjadi Permana pun memberi beberapa pil yang diberikan oleh dukun tapi tidak juga memberikan reaksi yang baik. Dengan keadaan terpakasa Ida di bawa ke Rumah Sakit, melalui Bi Iah Sumarto mengetahui keadaannya Ida, Sumarto yang kaget melihat keadan Ida yang semakin memburuk, sehingga membuat Sumarto menulis surat ke permana tentang bahaya dan hukuman-hukuman apabila menggugurkan kandungan, akan tetapi surat yang sengaja dikirim oleh Sumarto di baca oleh Ida. Ida pun merasa sangat berdosa dengan telah apa yang telah ia lakukan.
Setelah pulangnya dari Rumah Sakit Ida pun bertemu dengan Sumarto, adapun itikad baik dari Sumarto adalah untuk meminangnya, lalu Ida pun mulai menceritakan kepada Ibunya tentang pertemuanya dengn Sumarto serta itikad baiknya Sumarto, mendengar penjelasan Ida Saleha menceritakan semuanya ke Permana.
Permana pun tidak menunjukan respond dan pada kesokan harinya Ida dipertemukan dengan pastur lalu Ida pun dibaptis dan namanya berubah menjadi ”MARIA MAGDALENA” setelah dibaptis pernikahan pun dilangsungkan di rumah Permana. Pada hari itu sangat ramai dengan penuh kebahagiaan, dan pengantin pria pun datang ke rumah mempelai wanita. Namun itu mungkin yang terbesit dalam bayanngan Saleha dan Permana hingga selang seminggu kebahagiaan itu kini datang kabar bahwa Ida telah meninggal dunia. Ratapan dan tangisan tak habis di curakan hingga pemakaman pun berlangsung dipimpin oleh pastur.
Analisis Makna
Di dalam Novel KELUARGA PERMANA ini saya mencoba menganalisis dengan menggunakan pendekatan Psikologi Sastra dan pendekatan Religi Sastra. Novel KELUARGA PERMANA mengandung Psikologi Sastra maksudnya pendekatan yang melihat dari segi keperibadian atau karakter dari penokohan baik itu dari segi klimaks dan dari segi permasalahan dalam cerita. Dari yang bisa saya amati dari cerita tersebut adalah bagaimana seorang tokoh di dalam novel tersebut adalah Ida mengalami suatu depresi atas tekanan-tekanan atau Stersing di dalam kehidupanya dari orang tuanya dan dari Batinnya. Apa lagi dia harus menerima kenyataan yang harus diterimanya ketika orang tuanya mengambil konsekuensi yaitu menggugurkan kandungannya karena semata-mata untuk menghindari suatu cemoohan dari masyarakat karena kehamilan Ida merupakan akibat dari kecelakan semata. Apa lagi hal yang harus diterima dengan sangat memberikan dampak kecaman yang berlainan antara kenyataan dengan batinnya. Adapun dari Permana yang didalam cerita itu sering melakukan suatu yang tindak berlibihan pada waktu marah dan ketika emosinya tidak terkendali. Kenyatan itu juga dialami oleh Isteri Permana yaitu Saleha yang mendapat tekanan dari suaminya sendiri akan tetapi karena kesabaran Saleha dia pun dapat mengatasi permasalahan-permasalahan keluarga apalagi ketika itu Saleha tahu bahwa Permana Suaminya mengalami tekanan-tekanan itu ketika dia dikeluarnya dari pekerjaannya. Dari Unsur Religi sastra di dalam kehidupan sosial maksudnya dari beberapa yang saya lihat adanya suatu kebimbangan akan kenyatan yang dipilih dengan batiniah seorang Ida yang rela mengorbankan Status keyakinan beragamanya yang sewaktu di dalam kandungan telah menyandang agama tersebut, akan tetapi karena suatu kesalahan yang telah dia perbuat akhirnya merubah suatu keyakinannya itu dan mengikuti kenyataannya yaitu berpindah agam menjadi seorang yang beragama Katolik, walaupun kenyataan yang diharus diterima itu pahit akan tetapi kenyataan yang ada dijalani dengan penuh konsekuensi. dari kedua pendekatan tersebut munculah pendekatan moral yang berupa kesimpulan dari makna tersebut maksudnya dari pendekatan ini kita harus mengerti bahwa setiap orang mempunyai suatu Hak-hak dalam menjalani sesuatu dan melakukan sesuatu walaupun sebenarnya didalam hak-hak tersebut ada sebuah batasan-batasan berupa aturan yang semata-mata memberikan suatu arahan. akan tetapi kebebasan akan hak itu dan aturan tersebut haruslah diseimbangkan dan jangan satu dengan yang lain saling mendahului, hal inilah yang dapat memberikan efek yang kurang baik, seperti di dalam novel tersebut menjelaskan bahwa suatu batasan-batasan yang berupa aturan yang dibuat oleh Permana kepada Isteri dan anak-anaknya, sehingga membatasi orang-orang yang menjalaninya menjadi kurang dalam berkarya dan lebih-lebih dapat memberikan efek buruk bagi orang-orang yang menjalaninya seperti yang dialami tokoh dalam novel tersebut yaitu Ida. Ida mengalami suatu depresi dan beban-beban didalam batinnya dan akhirnya menybakan kematian yang sangat teragis menimpa dirinya.
Identitas buku
No : 10
Judul : Ayat-ayat Cinta
Pengarang : Habiburahman EL Sihrazy
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2007
Sinopsis :
Ada seorang pemuda yang berasal dari negara Indonesia yang mempunyai keinginan untuk bersekolah di universitas tertua di dunia yang letaknya berada di Delta Nil yang sebenarnya untuk bersekolah ke Delta Nil itu orang tuanya harus menjual sawah yang sebenarnya warisan dari kakeknya. Akan tetapi dengan keterbatasan tersebut ia dapat menyongsong masa hidupnya dengan mandiri sehingga menjadikan hidupnya bahagia, pemuda itu tidak lain adalah Fahri tokoh utama dalam novel ini. Fahri merupakan orang yang sangat disayangi para sahabatnya dan di lingkungannya karena setiap perilaku dan aktivitas yang ia kerjakan selalu dicermatinya dan berdasarkan refrensi dari kitab-kitab dan ulama, sehingga jarang yang memperlakukannya seperti memperlakukan musuh. Di Mesir Fahri tinggal di sebuah flat yang terbilang sederhana bersama teman-temannya yang berasal dari Indonesia, walaupun di dalam flat yang terbilang sederhana mereka tidaklah mengeluh dan bersedih melainkan mereka sangat bahagia dan harmonis, mereka saling bahu–membahu saling memberikan sesuatu yang terbaik untuk flatnya atau tempat tinggal mereka dan tidak pula mereka membagi tugas dalam berbagi pekerjaan dan tanggung jawab tentang pekerjaan rumah. Adapun yang tinggal diflat itu adalah Hamdi, Rudi, Misbah, Saiful. Saiful dan Rudi baru tingkat tiga dan mau masuk ketingkat empat, Sedangkan Misbah dan Hamdi sedang menunggu pengumuman kelulusan untuk memperoleh gelar Lc. atau Licence. Mereka semua telah menempuh ujian akhir tahun pada akhir Mei sampai awal Juni yang lalu. Tinggal menunggu hasil ujiannya pada bulan Agustus. Adapun Fahri sekarang tinggal menunggu pengumuman untuk menulis tesis master di Al Azhar. Hari demi hari selalu dilewati dengan sangat terkontrol sehingga dalam pekerjaan yang akan dihadapinya sepuluh tahun mendatang pun sudah direncanakan dengan baik, karena Fahri terinspirasi dari kata-kata “Hidup tanpa tujuan tidak akan membuat Kemajuan walaupun jalan yang di tempuhnya jalan yang mudah, akan tetapi hidup dengan tujuan akan membuat kemajuan walaupun jalan yang ditempuh dengan sulit” dan pada akhirnya Fahri pun menikahi seorang wanita yang bernama Aisyah yang berlatar belakang keluarga konglomerat, dengan ayah berdarah Jerman dan seorang ibunya berdarah Palestina, mereka pun hidup bahagia namun hal yang sangat tragis adalah orang-orang yang menyukai Fahri tiba-tiba jadi berubah mereka tidak lain adalah wanita-wanita yang dulu menyukai Fahri akan tetapi mereka malu untuk menunjukan rasa sukanya kepada Fahri.
Pertama adalah Noura adalah seorang wanita Mesir yang malang yang selalu disiksa oleh keluarganya yang akhirnya di tolong oleh Fahri karena Fahri pun merasa iba melihat wanita yang disiksa, dan akhirnya Noura pun bebas dari penderitaannya dan menemui suatu keabadian ketika para dokter menyatakan bahwa Badrun bukan orang tua asli Noura, namun kebaikan Fahri di balas dengan suatu penghinaan hingga Fahri di masukan kedalam penjara karena dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap Noura hingga hamil. Yang kedua adalah Maria gadis cerdas yang beragama katolik yang hafal dengan Surat Maria, Maria mempunyai kepribadian yang manja, akan tetapi dia sangat cerdas, menurut keterangan orangtuanya maria adalah gadis pemalu. Namun ketika mendengar bahwa Fahri telah menikah Maria pun jadi jatuh sakit hingga tak sadarkan diri, menurut keterangan dokter Maria sakit diagnosa yaitu sakit karena frustasi, dan para dokter menyarankan bahwa maria bisa sembuh kalau mendengar seseorang yang sangat disayangnya ia adalah Fahri, walaupun pada akhirnya Maria pun meninggal dunia, akan tetapi sebelum Maria meninggal dunia Fahri pun telah menikahinya itu pun pada awalnya ditolak oleh Fahri akan tetapi itu semua adalah idenya Aisyah istri Fahri yang pertama, Aisyah menyarankan ide itu karena nasib Fahri ada di tangan Maria karena setelah Noura mengajukan surat pelecehan seksual terhadap Fahri kepengadilan, Fahri pun tidak dapat berbuat apa-apa, karena hanya Maria saksi hidup yang dapat menyatakan bahwa dirinya tak bersalah.
Analisis Makna
Novel Ayat-ayat Cinta merupakan novel yang sangat kreatif dan memberikan suatu Inspirasi lewat berbagai macam pesan dan pelajaran yang dapat diambil, ketika membaca novel tersebut, ketika membaca novel tersebut secara eksplisit kita dapat menikmati dan mendapat pengetahuan tentang suasana keindahan kota mesir, dari cuaca yang sangat panas dan di akhir tahun cuaca dingin, dan berbagai macam adat istiadat kebudayan masyarakat Mesir dalam bersosialisasi dan berkomunikasi. Dan yang tidak ketinggalan dari inti novel tersebut adalah berupa pelajaran moral yang sangat ditanam dengan mendasari dari Al-Quran dan Al-Hadist, pengarang lewat sosok Fahri berhasil membidik pembaca dalam memperlihatkan atau mendeskripsikan tingkah laku sosok Nabi Muhammad lalu diimplementasikan dalam wujud keseharian Fahri dalam mengarungi bahtera kehidupan. Sosok Fahri sangat memberikan suatu nilai tambah karena perilaku dan dari berbagai macam pelajaran dari cerita tersebut dapat di selesaikan walaupun semua itu yang dijalani dengan usaha yang gigih. Dalam novel tersebut yang banyak lebih tampak adalah pesan-pesan moral yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca bahwa untuk mencapai suatu hasil yang maksimal haruslah dengan suatu usaha yang kuat. Disamping itu novel ini juga menyisipkan aroma-aroma cinta, maksudnya bagaimana caranya agar sesorang saling mencintai dan disayangi, bagaimana caranya disayangi atau mencintai menurut syariat Islam, novel ini beraroma percintaan yang diatur dan ditata dengan agama, sehingga dapat dirasakan manfaat yang dapat diambil dari novel ini dan pengetahuan tentang pola kebudayaan masyarakat Mesir. Sehingga novel ini merupakan Novel Multi Normatif. Pendekatan Multi Normatif adalah berbagai macam norma yang terkumpul jadi satu yang semuanya membentuk suatu keharmonisan dan saling keterkaitan di dalam karya sastra.
"semoga bermanfaat bagi para pembaca"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar