Sejuknya Cintamu
Hembusan angin mulai terasa
Alangkah sejuknya pagi ini
Panas tak ku rasa
Dinginpun tak ku rasa
Kesejukan cinta yang kau bawa
Membuat hati makin tentram
Ketentraman cinta ini
Datang dari ketulusan hati
Rasa cinta kasih tiada henti
Yakin kebahagiaan menghampiri
3juni2010
By: Ep_ph@’
Sabtu, 15 Januari 2011
LAPORAN PENELITIAN FOLKLORE UMBUL MANTEN
UMBUL MANTEN DI DESA SIDOWAYAH JANTI POLANHARJO KLATEN DAN FUNGSINYA BAGI MASYARAKAT SEKITAR : ANALISIS PRAGMATIS
LAPORAN PENELITIAN
Nama kelompok:
Diyan Safitri A310080143
Ratna Ebti Rachmawati A310080153
Eprilia Kartika Sari A310080154
Eva Rahayu A310080167
Dewi Nafianti A310080178
PENDIDIKAN BAHASA, SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Folklor sebagai suatu disiplin atau cabang ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, di Indonesia belum lama dikembangkan orang (Danandjaja, 1991: 1). Folklor dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu: folklor lisan, folklor sebagaian lisan, dan folklor bukan lisan (Brunvand, dalam Danandjaya, 1991: 21 ). Adapun folklor lisan juga masih dibagi dalam beberapa kelompok, di antaranya adalah cerita prosa rakyat.
Salah satu bentuk cerita rakyat yang menarik untuk diteliti adalah cerita rakyat yang berkenaan dengan asal-usul penamaan suatu tempat. Cerita rakyat tersebut apabila dikelompokkan, termasuk pada genre cerita rakyat legenda setempat (local legends). Penamaan suatu tempat tidak muncul begitu saja, tetapi berkaitan dengan berbagai hal yang pada intinya menyangkut kebudayaan suatu masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa tertarik dengan cerita rakyat yang berkaitan dengan asal-usul umbul manten yang memiliki cerita unik yang teletak di Desa Sidowayah Janti Polanharjo Klaten. Penulis dalam melakukan penelitian ini menggunakan analisis pragmatik karena pendekatan pragmatik memberikan perhatian utama terhadap peranan pembaca. Ketertarikan penulis untuk mengetahui lebih telah menuntun penulis dalam melakukan penelitian folklor ini.
B.Rumusan Penelitian
Penellitian ini mempunyai tiga masalah yang harus diteliti dan dicari jawabannya.
a.Bagaimana sejarah terjadinya Umbul Manten?
b.Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap Umbul Manten?
c.Bagaimana fungsi Umbul Manten bagi masyarakat sekitar ?
C.Tujuan Penelitian
a.Mengetahui sejarah terjadinya Umbul Manten
b.Mengetahui berbagai tanggapan masyarakat terhadap Umbul Manten
c.Mengetahui fungsi Umbul Manten bagi masyarakat sekitar
D.Manfaat Penelitian
a.Menambah wawasan tentang penelitian folklore
b.Menambah wawasan tentang Umbul Manten
E.Sistematika Penulisan
Dalam penulisan proposal penelitian ini terdapat tiga bab yang terangkum. Bab I terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Selanjutnya pada bab II disampaikan beberapa kajian pustaka yaitu beberapa penelitian terdahulu mengenai folklor yang dianggap relevan dan uraian tentang teori-teori serta konsep-konsep yang digunakan sebagai landasan kerja penelitian yang relevan dengan topik tulisan, selain itu disampaikan juga kerangka pikir penulis dalam melakukan penelitian. Sedang pada bab III berisi metode penelitian yang terdiri atas beberapa bagian yaitu lokasi penelitian, pendekatan dan strategi penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik validitas data, teknik analisis data serta sistematika penulisan proposal penelitian.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A.Tinjauan Pustaka
Beberapa penelitian yang sebelumnya yang dinilai cukup relevan dengan penelitian ini antara lain adalah Arief yuri dalam penelitiannya yang berjudul “Asal Usul Terjadinya Umbul Manten dan Umbul Pelem” yang berkesimpulan bahwa Umbul Manten mempunyai fungsi bagi masyarakatnya yang menganggap bahwa apapun usaha manusia di dunia ini dalam kehidupannya, ALLAH-lah yang menentukan segalanya. Fungsi kedua, memberikan jaminan masa kini, misalnya diceritakan dongeng sebagaimana pada zaman dahulu, para dewa juga mualuai menggarap sawahnya dan memperoleh hasil yang melimpah. Fungsi yang terakhir, memberikan pengetahuan pada dunia, artinya fungsi ini adalah memberikan ilmu pengetahuan dan fisafat dalam alam pikiran mereka, misalnya cerita-cerita terjadinya langit dan bumi.
Penelitian berikutnya, penelitian Dudung Adriyano (2005) dengan judul “Cerita Rakyat Kabupaten Sukuharjo (suatu kajian struktur dan nilai edukatif).” Penelitian tersebut berkesimpulan bahwa daerah sukoharjo terdapat banyak sastra lisan atau cerita rakyat. Beberapa cerita rakyat yang terkumpul antara lain (1) cerita rakyat “Ki Ageng Banyubiru”, (2) cerita rakyat “Ki Ageng Balok”, (3) cerita rakyat “Ki Ageng Sutowijoyo”, (4) cerita rakyat “Pasanggrahan Langen Harjo.” Penelitian ini juga melakukan analisis struktur dan nilai budaya terhadap lima cerita rakyat Sukoharjo. Analasis struktur cerita rakyat Kabupaten Sukoharjo terkandung nilai pendidikan yang meliputi pendidikan moral, pendidikan adapt (tradisi) pendidikan Agama (religi), sejarah sejarah (history) dan pendidikan kepahlawan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah sama-sama mengkaji tentang folklor lisan dan perbedaannya adalah penelitian ini difokuskan pada bagaimanakah fungsi Umbul Manten bagi masyarakat sekitar di desa Sidowayah Janti Polanharjo Klaten.
B.Landasan Teori
1.Hakikat Folklor
Secara etimologis kata folklor berasal dari bahasa Inggris folklore, kata dasarnya folk dan lore (Danandjaja, 1984:1). Folk menurut Alan Dundes adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu, antara lain, dapat berwujud warna kulit yang sama, mata yang sama, bahasa yang sama, bentuk rambut yang sama, dll.
Danandjaja menyimpulkan bahwa folk adalah sinonim dengan kolektif yang juga memilik ciri-ciri pengenal fisik atau kebudayaan yang sama, serta mempunyai kesadaran kepribadian sebagai kesatuan masyarakat, dan yang dimaksud lor adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau pembantu pengingat.
Folklor menurut Dananjaja, tidak lain adalah sebagian kebudayaan suatu kolektof yang tersebar dan diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisoanal dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984:2).
2.Ciri Pengenal Foklor
Folklor memiliki sembilan ciri pengenal utama. Ciri pengenal folklore ini dapat dijadikan pembeda folklor dari kebudayaan lainnya (Danandjaja, 1984: 3-4). Ciri pertama samapai kelima berasal dari Jan Harold Brunvand (1968:4); ciri 6 dan 7 dari Carvalho-Neto (1965: 70); dan ciri ke-8 dan ke 9 dari Danandjaja (1984: 5).
Kesembilan ciri pengenal itu sebagai berikut.
a.Penyebaran dan pewarisnya biasanya dilakukan secara lisan yakni saat itu penyebaran folklor bisa terjadi dengan bantuan mesin cetak dan elektronik;
b.Bersifat tradisional, disebarkan dalam bentuk relative tetap (standar);
c.Folklore eksi dalam versi-versi bahkan dalam varian-varian yang berbeda lantaran tersebar secara lisan dari mulut ke mulut;
d.Bersifat anonym, nama pencipatanya sudah tidak diketahui orang lagi;
e.Folklore biasanya memiliki bentuk berumus atau berpola memiliki formula tertentu dan mamanfaatkan bentuk bahasa klise;
f.Folklore mempunyai fungsi dalam kehidupan bersama suatu kolektif (alat pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan yang terpendan);
g.Folklore bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum (ciri ini berlaku baik bagi folklore lisan maupun folklore sebagaian lisan);
h.Menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, hal ini disebabkan oleh pencipta pertama sudah tidak diketahui lagi;
i.Folklore pada umumnya bersifat polos dan lugu sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan; hal demikian itu dapat dimengerti apabila mengingat bahwa banyak folkor merupakan proyeksi emosi menusia-manusia yang paling jujur manifestasinya.
C.Kerangka Berfikir
Dalam mengkaji masalah penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan pragmatik dalam penelitiannya. Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Melalui pendekatan ini peneliti akan menggali mengenai asal-usul umbul manten. Dengan adanya umbul manten maka peneliti juga menggali mengenai tanggapan masyarakat tentang umbul manten tersebut. Adanya sebuah tempat atau benda yang menarik pengunjung termasuk umbul manten yang mempunyai daya tari tersendiri pastinya memiliki fungsi-fungsi bagi masyarakat sekitar yang mana fungsi ini akan peneliti ungkapkan dalam penelitiannya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A.Lokasi penelitian dan Waktu Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Umbul Manten yang terletak di Sidowayah Janti Polanharjo Klaten. Waktu penelitian dilakukan selama dua minggu, dimulai tanggal 29 Desember sampai 12 Januari 2011.
B.Pendekatan dan Strategi penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan Pragmatis yaitu pendekatan yang mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah yang dapat dipecahkan diantaranya berbagai tanggapan masyarakat terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implicit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis).
C.Objek Penelitian dan Subjek Penelitian
Objek penelitian merupakan sasaran yang akan diteliti, yang tidak terlepas dari masalah penelitian. Dalam penelitian “Umbul Manten Di Desa Sidowayah Janti Polanharjo Klaten dan Fungsinya Bagi Masyarakat Sekitar : Analisis Pragmatis”, maka objek penelitiannya adalah cerita asal usul dari Umbul Manten itu sendiri. Sedangkan Subjek dalam penelitian ini adalah tanggapan masyarakat terhadap Umbul Manten yang menjadi sasaran penelitian ini.
D.Data dan Sumber Data
Data adalah semua informasi atau bahan yang harus dicari dan dikumpulkan oleh peneliti sesuai dengan masalah penelitian. Penelitian ini menggunakan sumber data sekunder yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian atau telaah yang dilakukan oleh orang lain. Dalam penelitian ini data dan sumber data yang peneliti peroleh dari pengumpulan dokumen-dokumen yang bersangkutan dengan penelitian folklore serta umbul manten, selain pengumpulan dokumen, peneliti juga meninjau peristiwa atau tempat penelitian. Peneliti dalam memperoleh informasi lebih lanjut maka peneliti mengambil beberapa narasumber yang akan dimintai informasinya mengenai umbul manten.
E.Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah analisis dokumen, observasi, dan wawancara. Dalam analisis dokumen peneliti menggali asal-usul Umbul Manten. Setelah dokumen terkumpul, peneliti melakukan observasi ke Umbul Manten untuk melihat secara langusung bentuk Umbul Manten dan suasananya. Peneliti melakukan wawancara kepada kepala desa Sidowayah, pengelola Umbul Manten, petani dan pengunjung Umbul Manten untuk melengkapi data peneliti.
F.Teknik Validasi Data
Teknik validasi data dilakukan dengan menggunakan teknik triagulasi data. Teknik triagulasi data yakni teknik validitas data dengan memanfaatkan sarana di luar data itu untuk keperluan melakukan pengecekan atau pembangding terhadap data tersebut. Teknik Validasi data meliputi empat macam aspek.
1.Triangulasi data
Data yang diperoleh dicek ulang pada sumber data lain.
2.Triangulasi peneliti
Dilakukan dengan membandingkan hasil penelitian kita dengan hasil penelitian orang lain.
3.Triangulasi metode
Metode/ teknik pengumpulan data tertentu dikontrol dengan data serupa yang diperoleh dengan metode/ teknik yang lain.
4.Triangulasi teori
Dilakukan dengan menerapkan teori satu dan dikontrol melalui teori lain dalam analisis data.
G.Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan metode interaktif. Metode interaktif meliputi reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. Reduksi data dilakukan untuk menangkap makna dan fungsi yang menonjol dari segi tertentu yang menonjol. Sedangkan sajian data merupakan proses mengorganisasikan informasi yang ditemukan yang memungkinkan penarikan kesimpulan. Dan penarikan kesimpulan didasarkan atas pengorganisasian informasi yang diperoleh dalam analisis data.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.Asal Usul Terjadinya Umbul Manten
Ada cerita rakyat yang beredar di masyarakat mengenai asal muasal umbul ini. Umbul ini mempunyai arti yaitu sumber. Konon dahulu ada sepasang pengantin baru. Pengantin ini diberi wejangan (amanah) oleh kedua orang tuanya, “kalau pengantin baru itu, dilarang keluar rumah bersama-sama menjelang senja (maghrib) sebelum 40hari”.
Pasangan pengantin tersebut bertanya “mengapa mereka dilarang keluar rumah menjelang senja sebelum 40 hari?”. Dijawab oleh orang tua tersebut, “kalian ndak perlu membantah. turuti saja dan kalian akan selamat”, dengan nada sedikit marah karena nasehatnya dibantah.
Pengantin tersebut suatu hari sebelum 40 hari keluar rumah bersama-sama saat itu menjelang senja. Sang suami berjalan mendahului istrinya. Setelah berjalan lama, sang suami menengok ke belakang dan menemukan istrinya menjauh kemudian lenyap. Begitu juga dengan sang istri, ketika dia mengejar sang suami ternyata suaminya semakin jauh dan akhirnya lenyap. Letak umbul inilah disinyalir sebagai lokasi di mana kedua suami istri itu lenyap. Hingga umubul ini dinamakan sebagai Umbul Manten.
Ada juga masyarakat yang percaya jika pasangan suami istri yang lama tidak mempunyai keturunun dan ingin mendapatkan keturunan harus berendam semalaman di umbul Manten. Air di umbul Manten juga sering digunakan untuk siraman pada pernikahan adat jawa, orang yang sering mengambil air di Umbul Manten ini terutama orang dari kawasan Solo dan Jogja sedangkan orang sekitar hanya memanfaatkan air tersebut untuk kebutuhan sehari-hari dan pengairan di sawah-sawah.
Untung mendatangi Umbul manten ini tidak ada pantangan (larangan) apapun. Air dalam Umbul ini sangatlah jernih, meskipun umbul ini untuk berendam seratus orangpun airnya tidak akan keruh. Hal ini dikarenakan adanya aliran yang tidak pernah terputus dan mata air yang terus mengalir. Umbul manten ini masuk dalam wilayah Sidowayah. Umbul Manten ini satu-satunya Umbul yang terdapat di Desa Sidowayah. Di Kecamatan Janti terdapat Sembilan umbul yang salah satunya adalah Umbul Manten ini.
Adanya sebuah ritual “Nepi” yang dilakukan oleh pengunjung yang biasanya dari Solo dan Jogja yaitu dengan mengambil tujuh macam air dari berbagai umbul yang tersebar di berbagai wilayah di kabupaten Klaten. Warga Solo mempunyai sebuah kepercayaan tersendiri terhadap Umbul Mnten ini, konon para pengantin menggunakan air Umbul Manten ini untuk membasuh muka mereka sebelum dirias akan terlihat aura pengantinnya, aura kesegaran pengantin baru.
Disekitar Umbul Manten terdapat sebuah hewan yang dinamakan “Sumpit” yaitu keong kecil namun bentuknya tumpul. Hal ini konon dulunya ada orang kraton yang mendatangi Umbul Manten tersebut dan salah satu kakinya tertusuk keong hingga berdarah. Dari kejadian itu akhirnya keong tersebut dikutuk menjadi tumpul. Keong inilah yang disebut sebagai “Sumpil”. Keong ini hanya ada di sekitar Umbul Manten saja dan hanya beberapa meter saja dari Umbul.
Berbagai cerita yang bersifat mitos ini kurang diperhatikan warga Sidowayah. Justru masyarakat luar seperti Solo dan Jogja yang mempercayai adanya mitos dari Umbul Manten tersebut. Warga Sidowayah hanya memanfaatkan Umbul Manten ini sebagai sumber air yang dapat menghidupi mereka. Selain untuk membantu perekonomian desa juga telah membantu pengairan sawah warga Sidowayah. Warga sangat bersyukur dengan adanya Umbul Manten ini.
2.Tanggapan Masyarakat Sekitar Terhadap Umbul Manten
Peneliti telah melakukan wawancara dengan beberapa narasumber di sekitar lokasi Umbul Manten. Berikut hasil wawancara peneliti dengan beberapa narasumber : (1) peneliti melakukan wawancara dengan Kepala Desa Sidowayah yaitu Bapak Hapsoro (45 tahun), beliau mengatakan bahwa dengan adanya Umbul Manten di Desa Janti tersebut membawa keuntungan tersendiri bagi warga sekitar. Karena warga memanfaatkan air dari Umbul Manten untuk kehidupan sehari-hari dan untuk pengairan sawah warga. Warga di Desa Janti juga memanfaatkan lahan disekitar Umbul Manten yang berupa media air untuk ditanami sayuran yang mereka sebut “cenil” , sayuran ini hanya tumbuh dibeberapa tempat saja, salah satunya di Umbul Manten. Sayuran ini biasanya diolah warga untuk dijadikan makanan campuran pecel “cenil” yang digemari warga sekitar karena pecel “cenil” ini juga termasuk salah satu makanan khas dari Desa Janti.
Umbul Manten tersebut dikelola oleh salah satu warga Kelurahan Sidowayah dengan sistem lelang dalam jangka waktu satu tahun. Pelelangan tersebut dilakukan oleh warga dengan sistem tertutup. Peminat warga yang ingin melelang masih kurang karena warga beranggapan bahwa pendapatan kurang seimbang dengan biaya pelelangan. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengunjung yang datang tiap harinya ke lokasi Umbul Manten. Untuk pelelangan periode tahun 2010 dimenangkan oleh Bapak Muhtadi (48 tahun) dari Desa Sidowayah dengan lelang sebesar Rp 11.800.000,-. Periode itu berakhir pada bulan Desember dan dilakukan pelelangan selanjutnya pada awal bulan Januari 2011. Hasil pelelangan untuk periode tahun 2011 yang diikuti tiga calon pelelang yang berasal dari warga Sidowayah dan dimenangkan kembali oleh bapak Muhtadi dengan uang lelang sebesar Rp 17.000,000,- selisih Rp 5.200.000,- dari tahun sebelumnya.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari bapak Hapsoro (45 tahun) selaku kepala desa Sidowayah, maka peneliti melakukan wawancara langsung kepada bapak Muhtadi (48 tahun) sebagai pemenang lelang pada periode tahun 2010 dan 2011 untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang Umbul Manten. Pak Muhtadi mengungkapkan bahwa adanya umbul manten ini sangat membantu perekonomian warga desa Sidowayah dan sekitarnya, karena warga tidak perlu lagi memakai air PDAM. Selain itu petani desa Sidowayah juga memanfaatkan air untuk pengairan sawah mereka, sehingga menjadikan petani tidak kesulitan lagi ketika musim kemarau tiba.
Bapak Muhtadi (48 tahun) mengungkapkan bahwa dia telah empat kali berturut-turut memenangkan lelang kepengelolaan Umbul Manten tersebut. Adanya sistem pelelangan Umbul Manten tersebut dilatarbelakangi adanya keinginan warga setempat yang ingin menjadikan tempat itu lebih aman, terawat dan tidak dijadikan tempat untuk berbuat maksiat. Menurut cerita dari bapak Muhtadi (48 tahun) sebelum diadakannya sistem pelelangan tempat tersebut dijadikan warga desa Sidowayah dan sekitarnya untuk tempat pesta miras dan tempat mesum, sehingga sempat terjadi penggrebakan oleh Polisi dan FPI. Hal tersebut membuat warga sekitar menjadi geram dan mengusulkan untuk diadakannya pelelangan agar ada pihak penenggungjawab dan pengelola dari Umbul Manten.
Sistem pelelangn pertama dimulai pada tahun 2008 yang diikuti oleh dua orang dengan harga lelang tertinggi Rp 1.700.000,-. Pelelangan selanjutnya yaitu pada tahun 2009 di ikuti dua orang lagi dengan harga lelang tertinggi Rp 6.000.000,-. Pelelangan berikutnya yaitu pada tahun 2010 di ikuti oleh tiga pelelang, dengan harga lelang tertinggi Rp 11.800.000,- dan yang terakhir yaitu pada tahun 2011 di ikuti tiga pelelang lagi dengan harga lelang tertinggi yaitu Rp 17.000.000,-. Itu semua di menangkan oleh bapak Murtadi (48 tahun).
Setiap tahunnya terjadi selisih harga yang tinggi, itu semua membuktikan bahwa lokasi tersebut makin banyak peminatnya. Warga percaya bahwa dengan adanya sistem pelelangan ini tempat tersebut menjadi lebih terawat dan aman karena ada penanggungjawabnya. Bapak Muhtadi (48 tahun) selaku penanggung jawab dan pemenang lelang berperan aktif untuk selalu menjaga serta mengontrol tempat tersebut. Pengunjung yang ingin datang ke Umbul Manten tersebut dikenai biaya masuk seharga Rp 1.000,-/orang. Bapak Muhtadi sendirilah yang menjaga loket tersebut.
Setelah melakukan wawancara dengan bapak Murtadi (48 tahun), peneliti mencari tambahan informasi lebih lanjut dengan beberapa warga sekitar dan pengunjung lokasi Umbul Manten. Peneliti melakukan wawancara dengan saudara Dewo (22 tahun) yang berprofesi sebagai wiraswasta. Dia mengatakan bahwa keberadaan Umbul Manten di Desa Janti ini sangat menguntungkan bagi masyarakat sekitar, terlebih untuk anak-anak muda seumuran Dewo (22 tahun) memanfaatkan tempat tersebut sebagai tempat bertukat pikiran dan melepas kejanuhan serta untuk mengisi waktu luang. Anak-anak muda di sekitar lokasi juga menjaga kelestarian tempat tersebut (Umbul Manten). Berikutnya peneliti mewawancarai Saudara Habib (20 tahun) yang berprofesi sebagai wiraswasta. Dia juga berpendapat hampir sama dengan saudara Dewo (22 tahun) hanya saja dia menambahi bahwa Umbul Manten ini adalah ciri khusus dan satu-satunya yang dimiliki dari Desa Janti.
Peneliti juga menemui salah seorang petani yaitu Ibu Saliyem (51 tahun) yang sedang memanen sayuran “Cenil”. Beliau mengatakan bahwa dengan adanya umbul manten itu sangatlah menguntungkan bagi dirinya, karena lahan disekitar Umbul Manten dijadikan lahan untuk menanami sayuran “Cenil”. Sayuran itu hanya bisa tumbuh di media yang banyak air dan tidak tumbuh disembarang tempat.
Dari beberapa pengunjung di Umbul Manten sebagian besar adalah para pelajar SMP dan SMA yang memanfaatkan waktu luang mereka untuk menyegarkan pikiran setelah melaksanakan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Mereka beranggapan bahwa setelah “kungkum” dan berenang di Umbul tersebut menjadikan mereka lebih fresh serta menjadikan semangat lagi untuk menjalani aktivitas selanjutnya.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa denagn adanya Umbul Manten tersebut sangat menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Keuntungan yang masyrakat dapatkan dengan adanya Umbul tersebut telah membantu perekonomian dan pengairan sawah warga desa Sidowayah.
3.Aspek-aspek dalam penelitian (Analisis Fungsi)
a.Aspek Agama
Dari cerita asal-usul umbul manten di atas dapat dinilai dari aspek agama yaitu adanya sebuah kepercayaan-kepercayaan yang menjadi adat masyarakat pendatang, sedangkan dalam agama islam tidak ada ajaran yang menyebutkan mengenai berbagai kepercayaan tersebut. Hal ini disebut sebagai mitos. Warga setempat justru tidak mempercayai adanya mitos yang ada di umbul manten.
b.Aspek Moral
Umbul manten di desa Sidowayah ini awalnya memang menjadi tempat untuk pesta miras bagi para pemuda desa Sidowayah dan sekitarnya. Adanya perubahan fungsi tempat tersebut menjadikan tempat itu lebih bermanfaat bagi masyarakat desa Sidowayah dan sekarang menjadi tempat yang bermanfaat dan dari segi moral sudah cukup baik.
c.Aspek Pendidikan
Melestarikan lingkungan, memanfaatkan lahan. Sedangkan dalam cerita umbul Manten dapat diambil petuahnya bahwa pertama jangan membantah nasehat orang tua.
d.Aspek Sosial
Nilai sosial dari cerita rakyat umbul menten adalah, agar kita selalu berusaha dengan baik dalam menjalni kehidupan ini dan selalu berbakti kepada kedua orang tua, selalu menghormati orang tua, mentaati nasihatnya, jangan suka membantah kepada orang tua, menjaga kehormatan keluarga, dan saling menyayangi antar suami dan istri baik suka maupun duka.
e.Aspek Kultural
Nilai-nilai kultural yang terkandung dalam cerita umbul manten yaitu bagaimana warga Umbul Manten selalu menjaga dengan baik apa yang menjadi tanggungjawabnya terhadap Umbul Manten. Tempat yang menyejukkan ini telah membantu warga setempat dalam segi perekonomian dan pertanian.
BAB V
PENUTUP
A.SIMPULAN
Dari pembahasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Umbul Manten merupakan sebuah tempat yang menarik dan unik untuk dikunjungi. Adanya umbul manten ini sangat menguntungkan bagi warga Sidowayah dan sekitarnya baik dalam membantu perekonomian desa maupun dalam hal pertanian. Cerita asal-usul Umbul Manten ini dimulai dengan adanya sepasang pengantin yang hilang di Umbul ini sehingga dinamakan Umbul Manten. Masyarakat menggunakan system lelang untuk mengelola Umbul Manten ini. Pelelangan ini dilakukan dengan tujuan agar Umbul Manten ini terawatt dan bermanfaat.
B.SARAN
Alangkah lebih baiknya apabila tempat ini lebih dirawat lagi supaya terlihat lebih indah. Jalan menuju Umbul manten yang begitu sempit dan kecil ini mungkin bisa diperbaharui lagi. Letak Umbul Manten juga tidak bisa terlihat dari jalan raya karena terhalang pagar rumah yang tinggi. Mungkin bisa dilakukan pembangunan untuk kawasan ini sehingga pengunjung yang datang akan lebih mudah untuk menemukan lokasi ini. Selain itu diadakan pula pembersihan pada Umbul tesebut karena Umbul ini dikelilingi pohon-pohon besar yang daunnya jatuh ke Umbul.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ma’ruf, Ali Imron. 2009. “ Makalah Metode Penelitian Sastra Sebuah Pengantar” . Surakarta: FKIP UMS.
Danandjaja. 1991. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: Grafiti.
Iskandar. 2008. Metode Penelitian Pendidikan dan Sosial (Kuantitatif dan Kualitatif). Jakarta: Gaung Persada Press.
Ratna, Kutha Nyoma. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Sastra Asia Barat; Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Yuri, arief. 2009. Proposal Folklor Umbul Manten dan Umbul Pelem. http://folklor-umbul-mantenproposal.htm. Diakses tanggal 19 Desember 2010.
Rabu, 12 Januari 2011
CERITA RAKYAT TERBENTUKNYA KOTA WONOSOBO
Berdasarkan ceritera rakyat pada sekitar awal abad ke-18, tersebutlah tiga orang pengelana yang masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik, mulai merintis suatu pemukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar Kota Wonosobo sekarang ini.
Sejak saat itu daerah ini mulai berkembang dan tiga orang tokoh tersebut dianggap sebagai cikal-bakal dari masyarakat Wonosobo yang dikenal sekarang. Makin lama daerah ini semakin berkembang sehingga semakin ramai. Di kemudian hari dikenal beberapa nama tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduto sebagai penguasa Wonosobo dengan pusat kekuasaan di Kalilusi Pecekelan yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok (Wonosobo) atau Plobangan sekarang ini. Seorang cucu Kyai Karim yang dikenal dengan nama Ki Singowedono juga disebut sebagai salah seorang penguasa di Wonosobo. Beliau mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Kraton Mataram, serta diangkat menjadi penguasa daerah tersebut. Namanya kemudian berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa itu pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia, Tumenggung Jogonegoro dimakarnkan di Desa Pakuncen.
Pada awal abad ke-17 agama Islam sudah mulai berkembang luas di daerah Wonosobo. Seorang tokoh penyebar agama Islam yang sangat dikenal pada masa itu adalah Kyai Asmarasufi, yang dikenal pula sebagai menantu Ki Wiroduto salah seorana penguasa di Wonosoho Kyai Asmarasufi yang mendirikan Masjid Dukuh Bendosari dipercaya sebagai cikal-bakal atau tokoh yang kemudian menurunkan pada ulama Islam dan pemilik pondok pesantren yang ada di Wonosobo pada masa berikutnya seperti Kyai Ali Bendosari, Kyai Syukur Sholeh, Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdulfatah Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai As'ari, Kyai Abdul Fakih, Kyai Muntaha dan Kyai Hasbullah.
Demikianlah, dari hari ke hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, waktu berjalan terus, keadaan Wonosobo makin lama makin berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban manusia. Dan selanjutnya pada masa antara tahun 1825 - 1830 atau tepatnya pada masa Perang Diponegoro, Wonosobo merupakan satah satu medan pertempuran yang penting dan bersejarah. Daerah ini adalah salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan tersebut. Beberapa medan pertempuran yang menandai perjuang pasukan pendukung Pangeran Diponegoro tersebar di Gowong, Ledok, Sapuran, Plunjaran, Kertek dan sebagainya.
Di samping itu dikenal pula beberapa tokoh penting di Wonosobo yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Imam Misbach atau di kemudian hari dikenal dengan nama Tumenggung Kartosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Ki Muhammad Ngarpah. Nama yang terakhir ini adalah tokoh penting yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di Wonosobo. Walaupun perjuangan Muhammad Ngarpah tidak terbatas di daerah Wonosobo saja melainkan juga di daerah Purworejo, Magelang, Klaten dan sebagainya, akan tetapi keberadaan beliau sangat penting dalam sejarah Wonosobo. Muhammad Ngarpah bersama-sama Mulyosentiko memimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro menghadang pasukan Belanda di Legorok dekat Pisangan Yogyakarta. Dalam pertempuran di Legorok tersebut Ki Muhammad Ngarpah bersama-sama Ki Mulyosentiko beserta pasukannya berhasil menewaskan ratusan tentara Belanda, termasuk empat orang tentara Eropa. Mereka juga berhasil mengambil emas lantakan senilai 28,00 gulden pada saat itu. Pada pencegatan di Legorok, Belanda mengatami kekalahan sehingga hanya beberapa orang saja yang dapat melarikan diri.
Menurut catatan sejarah, kemenangan Ki Muhammad Ngarpah serta para pendukungnya itu adalah kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro. Maka berdasarkan keberhasilan tersebut Pangeran Diponegoro memberi nama Setjonegoro kepada Muhammad Ngarpah dan nama Kertonegoro kepada Mulyosentiko. Selanjutnya Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro. Pada masa-masa berikutnya Setjonegoro terus aktif mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, bersama-sama dengan tokoh pendukung lainnya seperti Ki Muhammad Bahrawi atau Muhammad Ngusman Libasah, Muhammad Salim, Ngabdul Latif dan Kyai Ngabdul Radap.
Dalam pertempuran di Ledok dan sekitamya,Tumenggung Setjonegoro mengerahkan 100 orang prajurit yang dipimpin oleh Mas Tumenggung Joponawang untuk menghadapi serbuan Belanda. Tumenggung Setjonegoro juga pemah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk mengepung benteng Belanda di Bagelen. Dalam pertempuran di daerah Kedu, pemimpin pasukan Belanda bemama Letnan De Bruijn terbunuh. Selain itu Setjonegoro dan Kertonegoro juga terlibat dalam pertempuran di daerah Delanggu. Mereka memimpin pasukan ke daerah Lanjur untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Klaten.
Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan Kota Wonosobo sekarang ini.
Dari hasil Seminar Hari Jadi Wonosobo pada tanggal 2 April 1996 (yang dihadiri oleh Tim Peneliti Hari jadi Wonosobo dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, sesepuh dan pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, pimpinan DPRD dan pimpinan komisi serta instansi di Wonosobo), disepakati bahwa momentum Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825, dan hal ini telah ditetapkan menjadi Perda dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Wonosobo tanggal 11 Juli 1994. Dipilihnya tanggal tersebut erat kaitannya dengan peristiwa kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Ki Muhammad Ngarpah atau Tumenggung Setjonegoro di Legorok. Walaupun serangan yang berhasil itu tidak terjadi di wilayah Wonosobo, akan tetapi peristiwa itulah yang mengangkat karir Muhammad Ngarpah sehingga diangkat menjadi penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro.
Kabupaten Wonosobo terletak di daerah pegunungan nan berhawa sejuk. Tak heran banyak turis yang pernah berkunjung ke Wonosobo merindukan hawa sejuknya dan ingin berkunjung lagi. Tapi tahukah kamu sebenarnya Wonosobo berasal dari dua kata yaitu "WONO" & "SOBO". WONO mempunyai arti hutan sedangkan SOBO mempunyai arti mengunjungi. Jadi, WONOSOBO artinya sebuah kawasan hutan yang bergunung-gunung dan memiliki keunikan alam yang mampu menarik orang untuk mengunjungi. Wonosobo memiliki lingkungan yang bersih dan indah sesuai dengan semboyan "WONOSOBO ASRI" (ASRI=Aman, Sehat, Rapi, Indah). Perlu kalian ketahui juga bahwa Wonosobo sudah berkali-kali meraih Piala ADIPURA.
begitu sepenggal cerita...
Berdasarkan ceritera rakyat pada sekitar awal abad ke-18, tersebutlah tiga orang pengelana yang masing-masing bernama Kyai Kolodete, Kyai Karim dan Kyai Walik, mulai merintis suatu pemukiman di daerah Wonosobo. Selanjutnya Kyai Kolodete berada di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim berada di daerah Kalibeber dan Kyai Walik berada di sekitar Kota Wonosobo sekarang ini.
Sejak saat itu daerah ini mulai berkembang dan tiga orang tokoh tersebut dianggap sebagai cikal-bakal dari masyarakat Wonosobo yang dikenal sekarang. Makin lama daerah ini semakin berkembang sehingga semakin ramai. Di kemudian hari dikenal beberapa nama tokoh penguasa daerah Wonosobo seperti Tumenggung Kartowaseso sebagai penguasa daerah Wonosobo yang pusat kekuasaannya di Selomanik. Dikenal pula tokoh bernama Tumenggung Wiroduto sebagai penguasa Wonosobo dengan pusat kekuasaan di Kalilusi Pecekelan yang selanjutnya dipindahkan ke Ledok (Wonosobo) atau Plobangan sekarang ini. Seorang cucu Kyai Karim yang dikenal dengan nama Ki Singowedono juga disebut sebagai salah seorang penguasa di Wonosobo. Beliau mendapat hadiah satu tempat di Selomerto dari Kraton Mataram, serta diangkat menjadi penguasa daerah tersebut. Namanya kemudian berganti menjadi Tumenggung Jogonegoro. Pada masa itu pusat kekuasaan dipindahkan ke Selomerto. Setelah meninggal dunia, Tumenggung Jogonegoro dimakarnkan di Desa Pakuncen.
Pada awal abad ke-17 agama Islam sudah mulai berkembang luas di daerah Wonosobo. Seorang tokoh penyebar agama Islam yang sangat dikenal pada masa itu adalah Kyai Asmarasufi, yang dikenal pula sebagai menantu Ki Wiroduto salah seorana penguasa di Wonosoho Kyai Asmarasufi yang mendirikan Masjid Dukuh Bendosari dipercaya sebagai cikal-bakal atau tokoh yang kemudian menurunkan pada ulama Islam dan pemilik pondok pesantren yang ada di Wonosobo pada masa berikutnya seperti Kyai Ali Bendosari, Kyai Syukur Sholeh, Kyai Mansur Krakal, Kyai Abdulfatah Tegalgot, Kyai Soleh Pencil, Kyai As'ari, Kyai Abdul Fakih, Kyai Muntaha dan Kyai Hasbullah.
Demikianlah, dari hari ke hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, waktu berjalan terus, keadaan Wonosobo makin lama makin berkembang sejalan dengan kemajuan peradaban manusia. Dan selanjutnya pada masa antara tahun 1825 - 1830 atau tepatnya pada masa Perang Diponegoro, Wonosobo merupakan satah satu medan pertempuran yang penting dan bersejarah. Daerah ini adalah salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro, dengan kondisi alam yang menguntungkan serta dukungan masyarakat yang sangat besar terhadap perjuangan tersebut. Beberapa medan pertempuran yang menandai perjuang pasukan pendukung Pangeran Diponegoro tersebar di Gowong, Ledok, Sapuran, Plunjaran, Kertek dan sebagainya.
Di samping itu dikenal pula beberapa tokoh penting di Wonosobo yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro melawan kekuasaan kolonial Belanda. Tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Imam Misbach atau di kemudian hari dikenal dengan nama Tumenggung Kartosinuwun, Mas Lurah atau Tumenggung Mangkunegaran, Gajah Permodo dan Ki Muhammad Ngarpah. Nama yang terakhir ini adalah tokoh penting yang mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro di Wonosobo. Walaupun perjuangan Muhammad Ngarpah tidak terbatas di daerah Wonosobo saja melainkan juga di daerah Purworejo, Magelang, Klaten dan sebagainya, akan tetapi keberadaan beliau sangat penting dalam sejarah Wonosobo. Muhammad Ngarpah bersama-sama Mulyosentiko memimpin pasukan pendukung Pangeran Diponegoro menghadang pasukan Belanda di Legorok dekat Pisangan Yogyakarta. Dalam pertempuran di Legorok tersebut Ki Muhammad Ngarpah bersama-sama Ki Mulyosentiko beserta pasukannya berhasil menewaskan ratusan tentara Belanda, termasuk empat orang tentara Eropa. Mereka juga berhasil mengambil emas lantakan senilai 28,00 gulden pada saat itu. Pada pencegatan di Legorok, Belanda mengatami kekalahan sehingga hanya beberapa orang saja yang dapat melarikan diri.
Menurut catatan sejarah, kemenangan Ki Muhammad Ngarpah serta para pendukungnya itu adalah kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro. Maka berdasarkan keberhasilan tersebut Pangeran Diponegoro memberi nama Setjonegoro kepada Muhammad Ngarpah dan nama Kertonegoro kepada Mulyosentiko. Selanjutnya Setjonegoro diangkat sebagai penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro. Pada masa-masa berikutnya Setjonegoro terus aktif mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, bersama-sama dengan tokoh pendukung lainnya seperti Ki Muhammad Bahrawi atau Muhammad Ngusman Libasah, Muhammad Salim, Ngabdul Latif dan Kyai Ngabdul Radap.
Dalam pertempuran di Ledok dan sekitamya,Tumenggung Setjonegoro mengerahkan 100 orang prajurit yang dipimpin oleh Mas Tumenggung Joponawang untuk menghadapi serbuan Belanda. Tumenggung Setjonegoro juga pemah mendapat tugas dari Pangeran Diponegoro untuk mengepung benteng Belanda di Bagelen. Dalam pertempuran di daerah Kedu, pemimpin pasukan Belanda bemama Letnan De Bruijn terbunuh. Selain itu Setjonegoro dan Kertonegoro juga terlibat dalam pertempuran di daerah Delanggu. Mereka memimpin pasukan ke daerah Lanjur untuk menghadang pasukan Belanda yang datang dari Klaten.
Eksistensi kekuasaan Setjonegoro di daerah Ledok ini dapat dilihat lebih jauh dari berbagai sumber termasuk laporan Belanda yang dibuat setelah perang Diponegoro selesai. Disebutkan pula bahwa Setjonegoro adalah Bupati yang memindahkan pusat kekuasaan dari Selomerto ke kawasan Kota Wonosobo sekarang ini.
Dari hasil Seminar Hari Jadi Wonosobo pada tanggal 2 April 1996 (yang dihadiri oleh Tim Peneliti Hari jadi Wonosobo dari Fakultas Sastra UGM, Muspida, sesepuh dan pinisepuh Wonosobo termasuk yang ada di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, pimpinan DPRD dan pimpinan komisi serta instansi di Wonosobo), disepakati bahwa momentum Hari Jadi Wonosobo jatuh pada tanggal 24 Juli 1825, dan hal ini telah ditetapkan menjadi Perda dalam Sidang Pleno DPRD Kabupaten Wonosobo tanggal 11 Juli 1994. Dipilihnya tanggal tersebut erat kaitannya dengan peristiwa kemenangan pertama pasukan pendukung pangeran Diponegoro yang dipimpin oleh Ki Muhammad Ngarpah atau Tumenggung Setjonegoro di Legorok. Walaupun serangan yang berhasil itu tidak terjadi di wilayah Wonosobo, akan tetapi peristiwa itulah yang mengangkat karir Muhammad Ngarpah sehingga diangkat menjadi penguasa Ledok dengan gelar Tumenggung Setjonegoro.
Kabupaten Wonosobo terletak di daerah pegunungan nan berhawa sejuk. Tak heran banyak turis yang pernah berkunjung ke Wonosobo merindukan hawa sejuknya dan ingin berkunjung lagi. Tapi tahukah kamu sebenarnya Wonosobo berasal dari dua kata yaitu "WONO" & "SOBO". WONO mempunyai arti hutan sedangkan SOBO mempunyai arti mengunjungi. Jadi, WONOSOBO artinya sebuah kawasan hutan yang bergunung-gunung dan memiliki keunikan alam yang mampu menarik orang untuk mengunjungi. Wonosobo memiliki lingkungan yang bersih dan indah sesuai dengan semboyan "WONOSOBO ASRI" (ASRI=Aman, Sehat, Rapi, Indah). Perlu kalian ketahui juga bahwa Wonosobo sudah berkali-kali meraih Piala ADIPURA.
begitu sepenggal cerita...
Ibu Pulang
Cerpen Dewi Ria Utari (Kompas, 2 Januari 2011)
KRINGG!! Itu dering telepon kedelapan. Aku tahu pasti siapa peneleponnya. Nenek.
Dia masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh ibuku.
Ibu. Itulah alasan Nenek untuk menyuruhku pulang. “Sudah lima tahun kamu ndak pulang, Wid. Tahun ini kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.
“Nenek akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas Nenek.
Nenek memang tipe orang yang suka mendesak. Kupikir-pikir sekarang, sifatnya itu memang aku perlukan. Jika tidak, mungkin aku akan mati. Atau akan jadi pengangguran di rumah. Atau pasrah saja jika ada orang yang melamarku. Atau jadi gila. Namun semua pilihan itu tidak terjadi padaku. Berkat Nenek. Dengan keras kepala, dia akan menyuruhku ini itu. Membangunkanku agar tak terlambat ke sekolah. Menyiapkan makanan untukku, hingga memilihkan kursus apa saja yang ketika tiba waktunya, ternyata memang berguna. Toh ketika aku sudah bisa hidup dengan kemampuanku sendiri, bahkan bisa dibilang berlebih, Nenek tak pernah sedikit pun meminta apa pun dariku. Dia hanya memintaku untuk pulang setiap Natal.
Dibanding Nenek, Ayah tak memiliki pengaruh apa pun buatku. Dia sama mati surinya denganku. Membeku. Diam. Hanya melihatku dengan matanya, tapi tidak dengan jiwanya. Dia sering hanya menghabiskan waktu di kamarnya, atau di kebun, atau di perpustakaan, atau di teras rumah. Aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya. Di kemudian hari, kutemukan banyak sekali sketsa berisi sosok Ibu dan diriku di kamarnya.
Kata Nenek, Ayah menjadi pendiam seperti itu sejak kepergian Ibu. Saat aku berusia tiga tahun, Ibu pergi dari rumah tanpa pamit. Dia baru bilang keberadaannya setelah dua tahun kemudian. Sepucuk surat datang pada suatu sore. Dikirim dari Brooklyn, New York. Di surat itu, Ibu mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan lebih memilih tinggal di sana. Dia berjanji suatu saat akan pulang.
Janji itu ditepatinya saat ini. Ketika aku sudah berusia seperempat abad. Usia di mana aku sudah tak membutuhkannya lagi. Saat di mana aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu.
Buatku, Nenek lebih dari seorang Ibu. Bahkan juga menjadi Ayah bagiku. Jadi aku merasa tak perlu untuk menemui Ibu. Tidak untuk Natal kali ini, maupun di hari yang lain. Namun Nenek begitu mendesakku untuk pulang. Lima Natal sebelumnya, aku tidak lagi pulang dan Nenek tidak berkata apa pun. Dia sudah sangat mengerti aku telah memiliki kehidupan sendiri. Justru karena aku lama tak pulang inilah, Nenek menggunakannya sebagai senjata untuk memaksaku.
“Nenek ndak masalah kamu sudah lama ndak pulang. Bahkan Nenek juga ndak pernah minta apa pun dari kamu kan? Sekarang Nenek cuma minta kamu pulang, tapi kamu masih mikir-mikir. Sudahlah. Jika kamu ndak mau pulang karena ibumu, setidaknya kamu pulang buat Nenek,” pinta Nenek dengan nada kesal. Ketimbang memelas atau mengiba, Nenek memang lebih nyaman untuk bersikap marah atau ngambek. Setahuku dia memang bukan tipe nenek-nenek tua yang lemah. Tak heran jika dia masih bisa mengurus rumah sendiri di usia hampir 80 tahun hingga dua tahun lalu, kusewa seorang pembantu untuk membantunya. Usul yang ditolaknya mentah-mentah, namun Nenek berhasil kuancam untuk tidak mengusirnya.
“Dia sudah tidak punya rumah lagi, Nek. Kalau Nenek mengusirnya, dia bisa bunuh diri,” kataku.
Sesuai dengan iman Kristianinya yang begitu kuat, Nenek sangat membenci bunuh diri. Karena itulah dia mati-matian menjagaku dan Ayah untuk tidak mengakhiri hidup dengan tangan sendiri.
Pikiran tentang mengakhiri hidup sebenarnya tak pernah terlintas di benakku. Tidak dengan Ayah. Aku tahu dia sudah tak ada keinginan hidup tanpa Ibu di sisinya. Namun setelah bertahun-tahun kemudian, aku jadi berpikir mungkin karena kesetiaannya itulah Ibu pergi meninggalkannya.
***
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Nenek terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Nenek di gereja kota kecil ini. “Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman misdinarmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Nenek sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.
Sejak aku tiba di rumah Nenek, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu Ibu. Begitu aku memasuki rumah, Nenek langsung menarikku ke ruang makan dan memperkenalkan seorang perempuan yang sedang duduk di kursi makan. Begitu melihatku, dia segera berdiri.
“Wid, apa kabar?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Kedua telapak tangan kami berjabatan. Seperti sepasang asing yang baru akan memperkenalkan diri.
“Baik. Bagaimana perjalanan Ibu?” tanyaku sambil menarik kursi di dekatnya.
Dan mengalirlah pembicaraan di antara kami bertiga: aku, Ibu, dan Nenek.
Ibu seorang perempuan yang tenang. Cara bicaranya teratur. Senyumnya tipis dan seperlunya. Rambutnya panjang sebahu dengan sebagian uban di beberapa tempat. Tubuhnya kurus. Namun terlihat kuat dan kokoh. Meski kerut di beberapa bagian di wajahnya jelas terlihat, Ibu terlihat masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Bentuk wajahnya oval dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.
Pembicaraan kami lebih banyak tentang kehidupan Ibu di sana yang bekerja di sebuah galeri seni. Kemudian tentang penerbangan yang melelahkan dan rasa kangennya akan masakan Indonesia. Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia. Perbincangan kami terhenti karena Nenek sudah mengantuk. Kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing. Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah.
Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Ibu tengah duduk sambil mengisap rokok.
“Selamat Natal, Wid,” ujar Ibu sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng. “Selamat Natal juga, Bu.”
“Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.
“Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
“Bagaimana suamiku meninggal saat itu?”
“Ayah meninggal saat tidur. Aku dan Nenek tak mengetahuinya sampai pagi, ketika Nenek hendak membangunkan dia.”
“Begitu ya. Tahukah kamu dari dulu dia menginginkan kematian seperti itu. Kematian yang mengendap-endap. Bak pencuri. Tak meninggalkan tanda apa pun. Tak merepotkan siapa pun,” kata Ibu sambil memandang kegelapan.
“Kenapa Ibu tak pulang waktu Ayah meninggal?”
“Aku tak cukup kuat melihatnya tak bisa lagi bergerak, tersenyum, atau sekadar menggodaku dengan cubitan di pipiku. Tahukah kamu, dia dulu sangat suka duduk di sini. Sambil melukis atau membersihkan rumput. Sementara aku melihatnya dari balik jendela dapur. Begitu kamu lahir, dia tak lagi melukis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajakmu bermain di sini. Kamu didudukkan di rumput, dan kemudian dia akan merangkai berbagai macam bunga untuk dijadikan mahkota di kepalamu,” kata Ibu.
“Sepertinya indah dan menyenangkan. Lantas kenapa Ibu pergi?” akhirnya aku berhasil mempertanyakan hal yang dari dulu membuatku geram.
“Aku belum siap memiliki kamu. Sementara dia menginginkanmu begitu kami menikah. Ketika akhirnya aku hamil, dia semakin membuatku sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuatku merasa bersalah dari waktu ke waktu karena aku tak pernah bisa mencintainya sebesar itu. Saat kamu lahir, aku tahu dia akan bisa mencintaimu sebesar dia mencintaiku. Kujadikan dirimu sebagai penggantiku.”
“Ayah tak pernah bisa menjadikan siapa pun sebagai pengganti Ibu. Termasuk diriku.” “Aku tahu. Perpisahan yang sia-sia,” ujar Ibu sambil beranjak dari duduknya. “Aku sudah mengantuk, Wid. Aku tidur dulu ya,” pamit Ibu.
Aku mengangguk dan memutuskan tetap duduk sambil menunggu fajar. Dalam kegelapan, aku membayangkan kehidupanku jika Ibu tak pernah pergi. Mungkin Ayah tetap hidup dan setiap tahun aku akan pulang untuk merayakan Natal. Kemudian kami semua akan berkumpul di dekat pohon natal sambil saling bertukar kado. Atau seperti di film-film Hollywood, aku, Ibu, dan Nenek akan memasak hidangan natal bersama. Mungkin juga akan muncul pertengkaran layaknya sebuah keluarga, ketika aku memperkenalkan calon suami saat Natal tiba dan orangtuaku tidak menyetujuinya. Bahkan bukan tidak mungkin aku sudah memberikan cucu untuk Ayah dan Ibu.
Dua hari setelah Natal, Ibu pulang. Aku tetap tinggal di rumah Nenek sampai Tahun Baru. Setelah kepergiannya, aku akhirnya menyadari bahwa Ibu pergi karena tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulan ini kudapatkan dari cerita Nenek dan hadiah Natal dari Ibu. Sewaktu kubuka, hadiah itu berisi album foto yang memasang foto-fotoku sewaktu kecil. Aku belum pernah melihat foto-foto itu.
Sembari melihat isi album foto itu, Nenek akhirnya bercerita bahwa Ayah begitu menginginkan anak dalam pernikahannya dengan Ibu. Aku lahir lima tahun kemudian. Namun kehadiranku tak bisa menghalangi kepergian Ibu. Bagi Ayah, aku adalah hadiah dalam hidupnya. Sementara bagi Ibu, kehadiranku adalah memorabilia ketidaksetiaannya. Kini aku menyadari mengapa wajahku tidak sama dengan Ayah maupun Ibu. Di halaman terakhir album foto itu, kulihat diriku sewaktu kecil berada di sebuah taman. Aku dipangku Ibu yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan sorot mata dan senyum yang sama denganku. (*)
Jakarta, Desember 2010
Analisis Cerpen Ibu Pulang Dari Media Cetak Kompas tanggal 2 Januari 2011 oleh Dewi Ria Utari.
A. Dari Segi Struktur
Analisis dari segi struktur cerpen “Ibu Pulang” meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
1. Tema
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini mengandung tema Kesetiaan dalam sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang terpisah karena sebuah cinta yang begitu dalam. Cinta yang diberikan suami kepada istri hingga membuat istri terus merasa bersalah atas keadaan ini.
2. Penokohan
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini terdapat empat tokoh yaitu Aku, Nenek, Ibu, dan Ayah.
Tokoh Aku dalam cerpen tersebut menggambarkan sebuah sifat yang merasa dirinya tidak membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya terutama ibunya karena Ibu meninggalkannya ketika ia kecil dan Ibu datang ketika Ia sudah tidak membutuhkannya lagi. Menurut Ia nenek sudah menggantikan Ibu sekaligus Ayah untuk dirinya.
Tokoh Nenek dalam cerpen tersebut menggambarkan sifat yang sangat bertanggungjawab dan berjiwa besar. Nenek sanggup merawat cucunya dengan penuh kasih sayang dan sangat mengerti keadaan cucunya. Nenek juga orang yang disiplin dan tegas sehingga cucunya bisa meraih masa depan yang cemerlang.
Tokoh Ibu dalam cerpen tersebut menggambarkan sebuah Ibu yang menikah dengan seorang laki-laki namun Ia mengandung anak dari laki-laki lain yang bukan suaminya. Dia merasa bersalah sehingga Ia harus pergi meninggalkan keluraganya begitu saja
Tokoh Ayah dalam cerpen tersebut berperan menjadi orang yang sangat mencintai istrinya dengan apa adanya bagaimanapu keadaannya. Sungguh laki-laki yang baik karena cintanya tulus untuk istrinya. Namun ia harus menjalani hidup dengan hampa tanpa istrinya.
3. Alur cerita
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini menggunakan alur mundur. Cerita ini dimulai dari seorang nenek yang meminta cucunya pulang pada malam natal karena nenek ingin sang cucu bertemu dengan Ibunya yang telah lama pergi dan baru natal ini bisa menemui anaknya yaitu yang menjadi sosok “Aku” dalam cerpen tersebut.
Permasalahan mulai terjadi ketika “Aku” tidak ingin pulang karena ia harus bertemu Ibunya yang telah meninggalkan dirinya dan Ayahnya hingga Ayah meninggal. “Aku” merasa tidak mempunyai Ibu dan tidak ingin bertemu dengan Ibunya, namun karena Nenek yang meminta maka “Aku” mau pulang saat natal.
Saat Ibunya tengah duduk sendirian maka “Aku” menanyakan suatu hal yang membuatnya geram selama ini yaitu kenapa Ibunya pergi meninggalkan “Aku” dan Ayah. Ibu menceritakan semuanya kepada “Aku”, semua itu Ibu lakukan karena Ibu tidak mau melahirkan anak dari laki-laki yang bukan suaminya sedangkan kebesaran hati suaminya itu yang menginginkan “Aku” lahir. Ibu merasa sudah menyakitinya oleh karena itu Ibu pergi dari Ayah dan meinggalkanku.
4. Latar Cerita
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini menggunakan latar tempat dan waktu.
a. Latar Tempat
1) Di dalam rumah Nenek
Disini diceritakan Ibu sedang duduk di teras taman belakang.
2) Di sebuah kontrakan tempat “Aku” tinggal.
Disini diceritakan bahwa Aku meminta Nenek untuk menelponnya besok pagi karena Aku ingin minta cuti dulu dari tempat kerja.
3) Di Brooklyn New York
Dalam cerpen tersebuat dijelaskan pada kalimat “Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia”.
b. Latar Waktu
1) Malam hari
Dalam cerpen tersebut dijelaskan pada kalimat “Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah. Tengah malam aku terbangun.” Selain itu juga cerita ini pada malam natal.
5. Sudut Pandang Pengarang
Dalam cerpen tersebut pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Pengarang menceritakan kehidupan dirinya sendiri dalam tulisannya dengan konflik yang terjadi pada keluarganya.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen tersebut menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga pembaca mudah untuk memahami isi ceritanya. Selain itu cerpen ini juga menggunakan istilah – istilah yang menunjukan ciri khas yang ditunjukan pada kata “ndak” dan “ninik mamak”. Gaya bahasa yang digunakan baik dan menarik.
7. Amanat
Dalam cerpen tersebut terdapat berbagai pesan atau amanat yang disampaikan melalui tokoh – tokohnya.
a. Pesan yang tersirat untuk orang tua melalui cerpen tersebut yaitu sebagai orang tua janganlah lari dari tanggung jawab yang musti mengurus anaknya kala anaknya masih kecil meskipun anak itu tidak kita harapkan kdatangannya. Anak merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga dan dirawat penuh kasih sayang.
b. Pesan yang tersirat dari tokoh Wid yang diperankan oleh “Aku” yaitu sebagai anak haruslah berbakti kepada kedua orang tuanya, apalagi seorang Ibu. Surga ditelapak kaki Ibu, begitulah kata pepatah. Janganlah berburuk sangka dahulu sebelum tahu latar belakangnya.
c. Pesan yang tersirat dari tokoh Nenek dalam cerpen diatas yaitu sudah sangat baik karena keteguhan hatinya dalam menuntun cucu dan anaknya ke masa depan yang lebih baik.
B. Dari segi Makna
1. Kesimpulan
Dalam cerpen “Ibu Pulang” tersebut telah diceritakan bahwa seorang Nenek yang ingin sekali cucunya pulang karena Ibu ingin bertemu dengannya. Ibu yang telah lama meninggalkannya kala ia masih kecil. Ibu meninggalkan Aku dan Ayah ke Brooklyn New York hanya dikarenakan Ibu tidak ingin Aku lahir sedangkan Ayah sangat menginginkannya. Ibu tidak menginginkanku karena Aku ada bukan dengan Ayah.
Permasalahan ada pada sang Ibu. Kebaikan Ayah terhadap Ibu membuat Ibu tidak tahan dan meninggalkannya. Ibu tidak sanggup melihat Ayah yang begitu menyayanginya. Padahal Ayah tak bisa tanpa Ibu hingga Ayah meninggalpun Ibu tidak kunjung pulang. Ayah meninggal dalam keadaan tidur tanpa merepotkan orang lain dan itu memang keinginannnya.
Setelah merayakan Natal bersama, Nenek memberikan kotak yang berisi foto-foto masa kecilku yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Disitu terlihat Aku dipangku oleh dua orang yaitu Ibu dan Ayahku.
2. Saran
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini pengarang sebaiknya penjelasan pada konflik lebih di tingakatkan lagi supaya bisa lebih kelihatan gregetnya dengan bahasa yang lebih menarik pula. Niscaya pembaca akan lebih suka dan tertarik dengan cerpen ini.
Dengan membaca cerpen “Ibu Pulang” diharapkan dapat memberikan manfaat dan pembaca dapat mengambil hikmah dan manfaatnya. Sebagai orang tua sebaiknya menerima apapun yang diberikan Tuhan sebagai karunia yang terindah. Menjaga anak dengan ketulusan dan kasih sayang karena Anak adalah titipan Tuhan.
Cerpen Dewi Ria Utari (Kompas, 2 Januari 2011)
KRINGG!! Itu dering telepon kedelapan. Aku tahu pasti siapa peneleponnya. Nenek.
Dia masih saja berusaha membujukku untuk pulang. Padahal jelas-jelas aku sudah mengatakan kepadanya kemarin bahwa Natal tahun ini aku tak pulang. Ya. Pulang. Rumah Nenek adalah rumah untuk pulang. Aku dibesarkan olehnya. Juga oleh ayahku. Tapi tidak oleh ibuku.
Ibu. Itulah alasan Nenek untuk menyuruhku pulang. “Sudah lima tahun kamu ndak pulang, Wid. Tahun ini kamu harus ada. Ibumu pulang,” kata Nenek kemarin lewat telepon. Aku tidak mengiyakan. Tidak pula menolak. Aku hanya meminta Nenek untuk meneleponku lagi keesokan harinya, dengan alasan aku harus meminta izin bosku untuk bisa cuti.
“Nenek akan telepon kamu besok sore ya. Jangan lupa,” tegas Nenek.
Nenek memang tipe orang yang suka mendesak. Kupikir-pikir sekarang, sifatnya itu memang aku perlukan. Jika tidak, mungkin aku akan mati. Atau akan jadi pengangguran di rumah. Atau pasrah saja jika ada orang yang melamarku. Atau jadi gila. Namun semua pilihan itu tidak terjadi padaku. Berkat Nenek. Dengan keras kepala, dia akan menyuruhku ini itu. Membangunkanku agar tak terlambat ke sekolah. Menyiapkan makanan untukku, hingga memilihkan kursus apa saja yang ketika tiba waktunya, ternyata memang berguna. Toh ketika aku sudah bisa hidup dengan kemampuanku sendiri, bahkan bisa dibilang berlebih, Nenek tak pernah sedikit pun meminta apa pun dariku. Dia hanya memintaku untuk pulang setiap Natal.
Dibanding Nenek, Ayah tak memiliki pengaruh apa pun buatku. Dia sama mati surinya denganku. Membeku. Diam. Hanya melihatku dengan matanya, tapi tidak dengan jiwanya. Dia sering hanya menghabiskan waktu di kamarnya, atau di kebun, atau di perpustakaan, atau di teras rumah. Aku sendiri tak tahu apa yang dikerjakannya. Di kemudian hari, kutemukan banyak sekali sketsa berisi sosok Ibu dan diriku di kamarnya.
Kata Nenek, Ayah menjadi pendiam seperti itu sejak kepergian Ibu. Saat aku berusia tiga tahun, Ibu pergi dari rumah tanpa pamit. Dia baru bilang keberadaannya setelah dua tahun kemudian. Sepucuk surat datang pada suatu sore. Dikirim dari Brooklyn, New York. Di surat itu, Ibu mengabarkan bahwa dia baik-baik saja dan lebih memilih tinggal di sana. Dia berjanji suatu saat akan pulang.
Janji itu ditepatinya saat ini. Ketika aku sudah berusia seperempat abad. Usia di mana aku sudah tak membutuhkannya lagi. Saat di mana aku sudah memiliki pendapat sendiri tentang konsep Ibu. Tentang perlu tidaknya memiliki seorang ibu dalam hidupku. Tentang tidak semua perempuan bisa dan harus menjadi Ibu.
Buatku, Nenek lebih dari seorang Ibu. Bahkan juga menjadi Ayah bagiku. Jadi aku merasa tak perlu untuk menemui Ibu. Tidak untuk Natal kali ini, maupun di hari yang lain. Namun Nenek begitu mendesakku untuk pulang. Lima Natal sebelumnya, aku tidak lagi pulang dan Nenek tidak berkata apa pun. Dia sudah sangat mengerti aku telah memiliki kehidupan sendiri. Justru karena aku lama tak pulang inilah, Nenek menggunakannya sebagai senjata untuk memaksaku.
“Nenek ndak masalah kamu sudah lama ndak pulang. Bahkan Nenek juga ndak pernah minta apa pun dari kamu kan? Sekarang Nenek cuma minta kamu pulang, tapi kamu masih mikir-mikir. Sudahlah. Jika kamu ndak mau pulang karena ibumu, setidaknya kamu pulang buat Nenek,” pinta Nenek dengan nada kesal. Ketimbang memelas atau mengiba, Nenek memang lebih nyaman untuk bersikap marah atau ngambek. Setahuku dia memang bukan tipe nenek-nenek tua yang lemah. Tak heran jika dia masih bisa mengurus rumah sendiri di usia hampir 80 tahun hingga dua tahun lalu, kusewa seorang pembantu untuk membantunya. Usul yang ditolaknya mentah-mentah, namun Nenek berhasil kuancam untuk tidak mengusirnya.
“Dia sudah tidak punya rumah lagi, Nek. Kalau Nenek mengusirnya, dia bisa bunuh diri,” kataku.
Sesuai dengan iman Kristianinya yang begitu kuat, Nenek sangat membenci bunuh diri. Karena itulah dia mati-matian menjagaku dan Ayah untuk tidak mengakhiri hidup dengan tangan sendiri.
Pikiran tentang mengakhiri hidup sebenarnya tak pernah terlintas di benakku. Tidak dengan Ayah. Aku tahu dia sudah tak ada keinginan hidup tanpa Ibu di sisinya. Namun setelah bertahun-tahun kemudian, aku jadi berpikir mungkin karena kesetiaannya itulah Ibu pergi meninggalkannya.
***
Akhirnya aku memutuskan untuk pulang tepat pada malam Natal. Nenek terlihat kesal karena aku melewatkan misa malam Natal di gereja. Aku memang sengaja karena aku tidak berminat bertemu dengan orang-orang yang mungkin masih mengenalku jika aku misa bersama Nenek di gereja kota kecil ini. “Padahal tadi aku bertemu dengan teman-teman misdinarmu dulu, lho. Mereka sudah berkeluarga dan punya anak,” kata Nenek sambil menata piring di meja untuk makan malam. Aku hanya mengangguk malas.
Sejak aku tiba di rumah Nenek, aku memilih diam. Apalagi ketika bertemu Ibu. Begitu aku memasuki rumah, Nenek langsung menarikku ke ruang makan dan memperkenalkan seorang perempuan yang sedang duduk di kursi makan. Begitu melihatku, dia segera berdiri.
“Wid, apa kabar?” ujarnya sambil mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Kedua telapak tangan kami berjabatan. Seperti sepasang asing yang baru akan memperkenalkan diri.
“Baik. Bagaimana perjalanan Ibu?” tanyaku sambil menarik kursi di dekatnya.
Dan mengalirlah pembicaraan di antara kami bertiga: aku, Ibu, dan Nenek.
Ibu seorang perempuan yang tenang. Cara bicaranya teratur. Senyumnya tipis dan seperlunya. Rambutnya panjang sebahu dengan sebagian uban di beberapa tempat. Tubuhnya kurus. Namun terlihat kuat dan kokoh. Meski kerut di beberapa bagian di wajahnya jelas terlihat, Ibu terlihat masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya di masa lalu. Bentuk wajahnya oval dengan alis yang tebal dan hidung yang mancung. Sorot matanya tajam namun teduh.
Pembicaraan kami lebih banyak tentang kehidupan Ibu di sana yang bekerja di sebuah galeri seni. Kemudian tentang penerbangan yang melelahkan dan rasa kangennya akan masakan Indonesia. Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia. Perbincangan kami terhenti karena Nenek sudah mengantuk. Kami pun berpisah dan menuju kamar masing-masing. Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah.
Tengah malam aku terbangun. Entah mimpi apa yang membangunkanku, aku sudah lupa. Yang jelas aku terbangun dengan perasaan hampa. Kuputuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Tenggorokanku terasa kering. Di dapur, aku melihat setitik cahaya di teras taman belakang. Aku bergegas ke sana dan melihat Ibu tengah duduk sambil mengisap rokok.
“Selamat Natal, Wid,” ujar Ibu sambil menawarkan rokok kepadaku.
Aku menggeleng. “Selamat Natal juga, Bu.”
“Tak bisa tidur atau terbangun?” tanyanya.
“Terbangun.”
Agak lama keheningan menguasai kami berdua. Akhirnya Ibu yang pertama mengeluarkan suara saat rokoknya habis.
“Bagaimana suamiku meninggal saat itu?”
“Ayah meninggal saat tidur. Aku dan Nenek tak mengetahuinya sampai pagi, ketika Nenek hendak membangunkan dia.”
“Begitu ya. Tahukah kamu dari dulu dia menginginkan kematian seperti itu. Kematian yang mengendap-endap. Bak pencuri. Tak meninggalkan tanda apa pun. Tak merepotkan siapa pun,” kata Ibu sambil memandang kegelapan.
“Kenapa Ibu tak pulang waktu Ayah meninggal?”
“Aku tak cukup kuat melihatnya tak bisa lagi bergerak, tersenyum, atau sekadar menggodaku dengan cubitan di pipiku. Tahukah kamu, dia dulu sangat suka duduk di sini. Sambil melukis atau membersihkan rumput. Sementara aku melihatnya dari balik jendela dapur. Begitu kamu lahir, dia tak lagi melukis. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya dengan mengajakmu bermain di sini. Kamu didudukkan di rumput, dan kemudian dia akan merangkai berbagai macam bunga untuk dijadikan mahkota di kepalamu,” kata Ibu.
“Sepertinya indah dan menyenangkan. Lantas kenapa Ibu pergi?” akhirnya aku berhasil mempertanyakan hal yang dari dulu membuatku geram.
“Aku belum siap memiliki kamu. Sementara dia menginginkanmu begitu kami menikah. Ketika akhirnya aku hamil, dia semakin membuatku sesak dengan perhatian dan cintanya yang begitu sempurna. Membuatku merasa bersalah dari waktu ke waktu karena aku tak pernah bisa mencintainya sebesar itu. Saat kamu lahir, aku tahu dia akan bisa mencintaimu sebesar dia mencintaiku. Kujadikan dirimu sebagai penggantiku.”
“Ayah tak pernah bisa menjadikan siapa pun sebagai pengganti Ibu. Termasuk diriku.” “Aku tahu. Perpisahan yang sia-sia,” ujar Ibu sambil beranjak dari duduknya. “Aku sudah mengantuk, Wid. Aku tidur dulu ya,” pamit Ibu.
Aku mengangguk dan memutuskan tetap duduk sambil menunggu fajar. Dalam kegelapan, aku membayangkan kehidupanku jika Ibu tak pernah pergi. Mungkin Ayah tetap hidup dan setiap tahun aku akan pulang untuk merayakan Natal. Kemudian kami semua akan berkumpul di dekat pohon natal sambil saling bertukar kado. Atau seperti di film-film Hollywood, aku, Ibu, dan Nenek akan memasak hidangan natal bersama. Mungkin juga akan muncul pertengkaran layaknya sebuah keluarga, ketika aku memperkenalkan calon suami saat Natal tiba dan orangtuaku tidak menyetujuinya. Bahkan bukan tidak mungkin aku sudah memberikan cucu untuk Ayah dan Ibu.
Dua hari setelah Natal, Ibu pulang. Aku tetap tinggal di rumah Nenek sampai Tahun Baru. Setelah kepergiannya, aku akhirnya menyadari bahwa Ibu pergi karena tidak pernah memaafkan dirinya sendiri. Kesimpulan ini kudapatkan dari cerita Nenek dan hadiah Natal dari Ibu. Sewaktu kubuka, hadiah itu berisi album foto yang memasang foto-fotoku sewaktu kecil. Aku belum pernah melihat foto-foto itu.
Sembari melihat isi album foto itu, Nenek akhirnya bercerita bahwa Ayah begitu menginginkan anak dalam pernikahannya dengan Ibu. Aku lahir lima tahun kemudian. Namun kehadiranku tak bisa menghalangi kepergian Ibu. Bagi Ayah, aku adalah hadiah dalam hidupnya. Sementara bagi Ibu, kehadiranku adalah memorabilia ketidaksetiaannya. Kini aku menyadari mengapa wajahku tidak sama dengan Ayah maupun Ibu. Di halaman terakhir album foto itu, kulihat diriku sewaktu kecil berada di sebuah taman. Aku dipangku Ibu yang sedang duduk bersama seorang lelaki dengan sorot mata dan senyum yang sama denganku. (*)
Jakarta, Desember 2010
Analisis Cerpen Ibu Pulang Dari Media Cetak Kompas tanggal 2 Januari 2011 oleh Dewi Ria Utari.
A. Dari Segi Struktur
Analisis dari segi struktur cerpen “Ibu Pulang” meliputi tema, penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat.
1. Tema
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini mengandung tema Kesetiaan dalam sebuah keluarga. Sebuah keluarga yang terpisah karena sebuah cinta yang begitu dalam. Cinta yang diberikan suami kepada istri hingga membuat istri terus merasa bersalah atas keadaan ini.
2. Penokohan
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini terdapat empat tokoh yaitu Aku, Nenek, Ibu, dan Ayah.
Tokoh Aku dalam cerpen tersebut menggambarkan sebuah sifat yang merasa dirinya tidak membutuhkan kasih sayang dari orang tuanya terutama ibunya karena Ibu meninggalkannya ketika ia kecil dan Ibu datang ketika Ia sudah tidak membutuhkannya lagi. Menurut Ia nenek sudah menggantikan Ibu sekaligus Ayah untuk dirinya.
Tokoh Nenek dalam cerpen tersebut menggambarkan sifat yang sangat bertanggungjawab dan berjiwa besar. Nenek sanggup merawat cucunya dengan penuh kasih sayang dan sangat mengerti keadaan cucunya. Nenek juga orang yang disiplin dan tegas sehingga cucunya bisa meraih masa depan yang cemerlang.
Tokoh Ibu dalam cerpen tersebut menggambarkan sebuah Ibu yang menikah dengan seorang laki-laki namun Ia mengandung anak dari laki-laki lain yang bukan suaminya. Dia merasa bersalah sehingga Ia harus pergi meninggalkan keluraganya begitu saja
Tokoh Ayah dalam cerpen tersebut berperan menjadi orang yang sangat mencintai istrinya dengan apa adanya bagaimanapu keadaannya. Sungguh laki-laki yang baik karena cintanya tulus untuk istrinya. Namun ia harus menjalani hidup dengan hampa tanpa istrinya.
3. Alur cerita
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini menggunakan alur mundur. Cerita ini dimulai dari seorang nenek yang meminta cucunya pulang pada malam natal karena nenek ingin sang cucu bertemu dengan Ibunya yang telah lama pergi dan baru natal ini bisa menemui anaknya yaitu yang menjadi sosok “Aku” dalam cerpen tersebut.
Permasalahan mulai terjadi ketika “Aku” tidak ingin pulang karena ia harus bertemu Ibunya yang telah meninggalkan dirinya dan Ayahnya hingga Ayah meninggal. “Aku” merasa tidak mempunyai Ibu dan tidak ingin bertemu dengan Ibunya, namun karena Nenek yang meminta maka “Aku” mau pulang saat natal.
Saat Ibunya tengah duduk sendirian maka “Aku” menanyakan suatu hal yang membuatnya geram selama ini yaitu kenapa Ibunya pergi meninggalkan “Aku” dan Ayah. Ibu menceritakan semuanya kepada “Aku”, semua itu Ibu lakukan karena Ibu tidak mau melahirkan anak dari laki-laki yang bukan suaminya sedangkan kebesaran hati suaminya itu yang menginginkan “Aku” lahir. Ibu merasa sudah menyakitinya oleh karena itu Ibu pergi dari Ayah dan meinggalkanku.
4. Latar Cerita
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini menggunakan latar tempat dan waktu.
a. Latar Tempat
1) Di dalam rumah Nenek
Disini diceritakan Ibu sedang duduk di teras taman belakang.
2) Di sebuah kontrakan tempat “Aku” tinggal.
Disini diceritakan bahwa Aku meminta Nenek untuk menelponnya besok pagi karena Aku ingin minta cuti dulu dari tempat kerja.
3) Di Brooklyn New York
Dalam cerpen tersebuat dijelaskan pada kalimat “Di Brooklyn, Ibu jarang masak. Tapi dia tahu tempat-tempat di New York yang menjual bumbu-bumbu Indonesia”.
b. Latar Waktu
1) Malam hari
Dalam cerpen tersebut dijelaskan pada kalimat “Malam itu, Ibu tidur di kamar Ayah. Tengah malam aku terbangun.” Selain itu juga cerita ini pada malam natal.
5. Sudut Pandang Pengarang
Dalam cerpen tersebut pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Pengarang menceritakan kehidupan dirinya sendiri dalam tulisannya dengan konflik yang terjadi pada keluarganya.
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen tersebut menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga pembaca mudah untuk memahami isi ceritanya. Selain itu cerpen ini juga menggunakan istilah – istilah yang menunjukan ciri khas yang ditunjukan pada kata “ndak” dan “ninik mamak”. Gaya bahasa yang digunakan baik dan menarik.
7. Amanat
Dalam cerpen tersebut terdapat berbagai pesan atau amanat yang disampaikan melalui tokoh – tokohnya.
a. Pesan yang tersirat untuk orang tua melalui cerpen tersebut yaitu sebagai orang tua janganlah lari dari tanggung jawab yang musti mengurus anaknya kala anaknya masih kecil meskipun anak itu tidak kita harapkan kdatangannya. Anak merupakan karunia Tuhan yang harus dijaga dan dirawat penuh kasih sayang.
b. Pesan yang tersirat dari tokoh Wid yang diperankan oleh “Aku” yaitu sebagai anak haruslah berbakti kepada kedua orang tuanya, apalagi seorang Ibu. Surga ditelapak kaki Ibu, begitulah kata pepatah. Janganlah berburuk sangka dahulu sebelum tahu latar belakangnya.
c. Pesan yang tersirat dari tokoh Nenek dalam cerpen diatas yaitu sudah sangat baik karena keteguhan hatinya dalam menuntun cucu dan anaknya ke masa depan yang lebih baik.
B. Dari segi Makna
1. Kesimpulan
Dalam cerpen “Ibu Pulang” tersebut telah diceritakan bahwa seorang Nenek yang ingin sekali cucunya pulang karena Ibu ingin bertemu dengannya. Ibu yang telah lama meninggalkannya kala ia masih kecil. Ibu meninggalkan Aku dan Ayah ke Brooklyn New York hanya dikarenakan Ibu tidak ingin Aku lahir sedangkan Ayah sangat menginginkannya. Ibu tidak menginginkanku karena Aku ada bukan dengan Ayah.
Permasalahan ada pada sang Ibu. Kebaikan Ayah terhadap Ibu membuat Ibu tidak tahan dan meninggalkannya. Ibu tidak sanggup melihat Ayah yang begitu menyayanginya. Padahal Ayah tak bisa tanpa Ibu hingga Ayah meninggalpun Ibu tidak kunjung pulang. Ayah meninggal dalam keadaan tidur tanpa merepotkan orang lain dan itu memang keinginannnya.
Setelah merayakan Natal bersama, Nenek memberikan kotak yang berisi foto-foto masa kecilku yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Disitu terlihat Aku dipangku oleh dua orang yaitu Ibu dan Ayahku.
2. Saran
Dalam cerpen “Ibu Pulang” ini pengarang sebaiknya penjelasan pada konflik lebih di tingakatkan lagi supaya bisa lebih kelihatan gregetnya dengan bahasa yang lebih menarik pula. Niscaya pembaca akan lebih suka dan tertarik dengan cerpen ini.
Dengan membaca cerpen “Ibu Pulang” diharapkan dapat memberikan manfaat dan pembaca dapat mengambil hikmah dan manfaatnya. Sebagai orang tua sebaiknya menerima apapun yang diberikan Tuhan sebagai karunia yang terindah. Menjaga anak dengan ketulusan dan kasih sayang karena Anak adalah titipan Tuhan.
Langganan:
Postingan (Atom)